Ekonomi Syariah: Antara Peluang Besar dan Tantangan Kepemimpinan

Oleh: Ulul Albab Ketua ICMI Jawa Timur

insanimedia.id – Nama “ekonomi syariah” kini tidak lagi asing di telinga publik. Di mana-mana terdengar seminar, pelatihan, dan promosi produk berlabel “syariah”. Bank syariah, asuransi syariah, fintech syariah, hingga pariwisata halal. Tapi pertanyaan mendasar tetap sama: apakah ekonomi syariah kita sudah benar-benar tumbuh di atas nilai-nilai syariah, atau sekadar menempel pada bungkusnya saja?

Indonesia sebetulnya punya modal luar biasa besar. Lebih dari 230 juta penduduknya Muslim. Konsumsi produk halal (dari makanan, fesyen, hingga kosmetik) mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Potensi wakaf dan zakat produktif juga menggunung. Belum lagi peluang digitalisasi yang membuka akses pembiayaan bagi jutaan UMKM. Dari semua itu, ekonomi syariah semestinya bisa menjadi tulang punggung kemandirian umat dan daya saing bangsa.

Namun kenyataannya belum begitu. Pangsa pasar perbankan syariah masih di bawah 8 persen dari total perbankan nasional. Literasi masyarakat terhadap produk keuangan syariah baru separuh jalan. Banyak yang masih bingung membedakan murabahah dari kredit konvensional. Di sisi lain, lembaga dan pelaku syariah belum sepenuhnya padu. Regulasi berlapis, sertifikasi halal rumit, insentif fiskal belum terasa.

Ekonomi syariah tumbuh, tapi terseok-seok di tengah potensi besar yang belum tergarap.

Di sinilah pentingnya kepemimpinan. Ekonomi syariah tidak akan melaju hanya dengan regulasi, tapi perlu sosok pemimpin yang mampu menjahit potensi, membangun kepercayaan, dan menyatukan langkah umat: dari ulama hingga pengusaha, dari akademisi hingga birokrat.

Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) adalah wadah besar untuk itu. Organisasi ini menampung para cendekia, profesional, dan pelaku industri yang ingin menggerakkan ekonomi syariah secara sistemik. Pertanyaannya: seperti apa figur yang pantas memimpin MES di tingkat daerah maupun nasional?

Baca Juga :  Gus Irfan, Kementerian Baru, dan Masa Depan Tata Kelola Haji

Tentu bukan hanya soal popularitas. Pemimpin MES idealnya punya empat syarat pokok: pertama, integritas dan pemahaman syariah. Ia bukan sekadar pejabat atau pengusaha, tapi seseorang yang mengerti nilai dasar fiqh muamalah: tentang keadilan, larangan riba, dan etika bisnis Islam. Kedua, kapasitas manajerial dan jejaring luas, karena membangun ekonomi syariah butuh kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan sektor swasta. Ketiga, netralitas dan independensi, agar MES tidak terseret arus politik praktis. Keempat, visi masa depan, agar ekonomi syariah tidak terjebak pada seremoni, tapi benar-benar menjadi gerakan pemberdayaan.

Nama Emil Elestianto Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur, kini dikabarkan terpilih sebagai ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah Jawa Timur. Sebagai warga jatim tentu saya ikut senang. Semoga di era kepemimpinanya di jatim benar-benar tumbuh dan berkembang ekonomi syariah sebagaimana diajarkan dalam fiqih ekonomi yang kita pelajari di pesantren dan bahkan di perguruan tinggi.

Emil Dardak memang punya modal kepemimpinan yang kuat: muda, berpendidikan tinggi, dan terbukti sukses mengelola daerah. Ia juga memiliki jejaring birokrasi dan pengalaman memajukan ekonomi digital. Sesuatu yang kini dibutuhkan ekonomi syariah.

Namun tetap ada catatan yang dengan jujur rasanya perlu kita sampaikan. Emil bukan figur dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman mendalam di bidang fiqh muamalah. Ia lebih dikenal sebagai teknokrat dan politisi, bukan sebagai praktisi keuangan syariah. Karena itu, bila ia memimpin MES, perlu ada jaminan tata kelola yang kuat dan tim pakar syariah yang benar-benar independen. Agar MES tidak hanya terdengar islami di tataran slogan, tapi juga berkarakter ilmiah dan berintegritas di lapangan.

Kita belajar dari pengalaman. Tidak sedikit lembaga keuangan syariah yang akhirnya kehilangan ruh karena terlalu kompromistis terhadap kepentingan politik atau bisnis. Padahal, kekuatan ekonomi syariah justru terletak pada kepercayaannya: trust dari umat bahwa uangnya dikelola dengan aman, adil, dan sesuai prinsip Islam. Bila kepercayaan itu hilang, label “syariah” tak lagi berarti apa-apa.

Baca Juga :  Angkringan Tidak Sekadar Tempat Ngopi, Tapi Penggerak Ekonomi Blitar

Maka, siapapun pemimpinnya (Emil atau yang lain) MES harus menjadi gerakan yang independen, inklusif, dan kolaboratif. MES tidak boleh menjadi perpanjangan tangan partai atau lembaga pemerintah, tapi menjadi rumah besar bagi semua kalangan yang ingin membangun ekonomi umat dengan cara yang beretika dan berkelanjutan.

Di tengah turbulensi ekonomi global, umat Islam Indonesia membutuhkan arah yang jelas: bagaimana berusaha dengan berkah, berinvestasi dengan etika, dan berzakat dengan manfaat nyata. Ekonomi syariah bukan hanya soal sistem keuangan tanpa bunga, tapi sistem kehidupan yang menyeimbangkan dunia dan akhirat.

Kita ingin melihat MES bukan hanya sibuk menggelar seminar, tapi melahirkan role model bisnis halal yang sukses, pesantren yang mandiri, dan UMKM yang naik kelas karena pendampingan nyata.

Kalau itu yang terjadi, ekonomi syariah tak lagi menjadi wacana elitis di ruang seminar, tapi menjadi gerakan nyata yang mengubah wajah bangsa. Dan di situ, siapapun yang memimpin, akan dikenang bukan karena jabatannya, tapi justru benar-benar karena keberkahannya.