Mengapa Judicial Review UU No.14/2025 Tak Bisa Dihindari (Kajian Litbang DPP Amphuri Seri: 5)

Oleh: Ulul Albab Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri

insanimedia.id – Tidak semua guncangan datang dari tanah Arab. Kadang, justru dari meja sidang Senayan. Begitulah kira-kira rasa yang muncul setelah UU No.14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah disahkan. Undang-undang baru ini resmi melegalkan umrah mandiri. Sebuah terobosan yang di atas kertas tampak modern, tetapi di bawahnya menyimpan potensi ketimpangan kebijakan.

Guncangan ini tidak menimbulkan suara gaduh, tetapi efeknya terasa dalam. Ia menggoyang keseimbangan antara negara, pelaku usaha, dan jamaah. Bagi sebagian orang, mungkin ini langkah progresif. Tapi bagi para penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU), ini seperti “tepukan halus di pundak” yang terasa seperti tamparan: apakah negara masih percaya kepada kami?

Diskusi tentang Judicial Review (JR) pun mulai mengemuka. Bukan karena ingin melawan negara, tetapi karena ada rasa janggal yang perlu diluruskan. Ada logika hukum yang terasa kurang beres.

Ada yang Salah dalam Tata Logika Hukum

Pertama, dari sisi konstitusionalitas, pasal tentang umrah mandiri berpotensi melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak warga negara atas perlindungan dan kepastian hukum. Ketika ibadah lintas negara dilepaskan kepada individu tanpa mekanisme perlindungan memadai, siapa yang akan bertanggung jawab bila terjadi kegagalan, penipuan, atau keterlantaran jamaah?

Kedua, dari sisi kelembagaan, negara seolah “menyerahkan tanggung jawab” kepada individu. Padahal umrah bukan hanya perjalanan wisata spiritual. Umrah adalah ibadah lintas yurisdiksi, penuh risiko, dan menyangkut reputasi bangsa.

Ketiga, dari sisi tata kelola kebijakan, UU ini tampak lebih responsif terhadap Saudi Vision 2030 ketimbang Indonesia Vision 2045. Semangatnya “respon Saudi”, bukan “visi bangsa”. Negara seperti terlalu cepat menyesuaikan diri dengan pasar global, tapi lupa menyiapkan fondasi domestik yang kokoh.

Baca Juga :  Memahami Kasus Dugaan Korupsi Dalam Soal Pembagian Kuota Haji Tambahan 2024

Sungguh ironis bila negara yang konon sedang menuju Indonesia Emas 2045 justru tampak gagap di urusan tata kelola umrah, urusan yang menyangkut jutaan umat setiap tahun.

Mengapa Judicial Review Relevan

Dari kacamata kebijakan publik, UU ini lahir tanpa public policy assessment yang memadai. Tidak ada kajian regulatory impact analysis terhadap jamaah, industri, maupun tata kelola keuangan syariah yang menopang sektor ini.

Dari sisi good governance, tiga prinsip utama yaitu: transparency, accountability, dan responsiveness, seolah diabaikan dalam proses legislasi. Publik tidak banyak tahu, pelaku usaha tidak banyak diajak bicara, dan suara akademisi tenggelam dalam riuhnya proses politik. Ada kesan kejar tayang dalam proses legislasinya.

Dan dari sisi hukum tata negara, langkah Judicial Review justru sangat relevan. JR bukan perlawanan, tetapi mekanisme koreksi terhadap proses legislasi yang mungkin terburu-buru atau bias kepentingan.

Negara hukum tidak boleh kalah cepat dari negara pasar. Ketika kebijakan berubah karena tekanan industri luar negeri, maka Mahkamah Konstitusi adalah pagar terakhir agar arah kebijakan tetap berada di jalur konstitusi.

Sikap Elegan dan Tegas

Di tengah riuh isu “syok”, AMPHURI tidak sedang panik. Kami justru sudah menyiapkan langkah strategis jauh sebelum undang-undang ini disahkan. Melalui Litbang DPP AMPHURI, kami telah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan kajian akademik sejak tahap RUU. Setelah UU disahkan, kami melanjutkannya dengan kajian berseri yang dikirim ke berbagai media. Itu bukan bentuk reaksi emosional, tetapi justru investasi jejak digital akademik.

Kelak, seluruh hasil kajian ini akan menjadi bahan ilmiah yang sah digunakan dalam proses Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Kami tidak melawan. Kami meluruskan. Kami tidak marah. Kami berpikir. Karena di dunia kebijakan publik, yang elegan adalah mereka yang tetap tenang meski sedang menggugat.

Baca Juga :  Mengelola Bisnis Haji Khusus: Antara Tradisi, Regulasi, dan Inovasi

Refleksi Moral Publik

Dalam sejarah hukum, setiap perubahan besar selalu lahir dari keberanian untuk bertanya: apakah ini adil? apakah ini konstitusional? apakah ini berpihak kepada rakyat?

Judicial Review bukan hanya soal proses hukum. Judicial Review adalah ibadah intelektual untuk menegakkan keadilan kebijakan. Sebab bagi kami, membela jamaah tidak hanya dilakukan di miqat atau Masjidil Haram, tetapi juga di ruang sidang Mahkamah Konstitusi.

Dan kalau ada yang masih bertanya, “Apakah AMPHURI syok?”, jawabannya sederhana: Tidak. Kami tidak syok. Kami justru sedang menyiapkan langkah strategis, dengan kepala dingin, dengan hati ikhlas, dan dengan niat menjaga kemaslahatan umat. Karena bagi kami, melawan ketimpangan dengan cara elegan adalah bentuk tertinggi dari profesionalisme.