Puasa Ramadhan: Proses Transformasi Diri

Ir. LA Mema Parandy, S.T.,M.M., CBPA. - Departemen Kerjasama Wilayah Jateng, Jatim & Bali Badan Kejuruan Teknik Industri - Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI PII 2024-2027)

 

Kajian Islam, insanimedia.id – Puasa Ramadhan adalah perjalanan dengan tiga wajah spiritual, psikologis, dan sosial. Setiap wajah membawa kita lebih dekat pada jiwa yang ringan, pada kepribadian “light-minded” yang kita impikan.

Oleh: Ir. LA Mema Parandy, S.T.,M.M., CBPA. – Departemen Kerjasama Wilayah Jateng, Jatim & Bali Badan Kejuruan Teknik Industri – Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI PII 2024-2027)

Dimensi Spiritual: Menyucikan Jiwa

Aku ingat malam-malam Ramadhan yang sunyi. Rumah sepi, hanya suara kipas angin dan detak jam dinding yang terdengar.

Di saat seperti itu, aku sering duduk dengan Al-Qur’an di tangan, membaca ayat-ayat yang terasa seperti berbicara langsung padaku. Ada rasa tenang yang sulit ku jelaskan seperti hati yang biasanya berlari kencang tiba-tiba berhenti untuk bernapas.

Rasulullah pernah bilang bahwa puasa Ramadhan yang kita jalani dengan tulus bisa menghapus dosa-dosa kita. Kata-kata itu terasa seperti janji yang hangat, seperti pelukan dari langit.

Puasa bukan cuma soal menahan lapar atau haus. Ia juga tentang menjaga hati dari hal-hal yang mengotori pikiran buruk, kata-kata tajam, atau keinginan yang tak perlu.

Setiap kali aku memilih diam daripada membalas omelan, aku merasa ada beban yang lepas dari pundakku. Setiap kali aku mengganti keluh dengan doa, aku merasa lebih dekat pada Allah.

Puasa adalah pembersih jiwa. Puasa membuka ruang untuk damai dan cinta, langkah pertama menuju hati yang ringan.

Dimensi Psikologis: Melatih Kesabaran dan Ketahanan

Puasa itu tak selalu ringan. Ada hari-hari ketika perutku berbunyi di tengah rapat panjang, atau ketika tenggorokanku kering saat aku berjalan di bawah matahari.

Ada saat-saat ketika seseorang membuatku ingin marah mungkin karena ucapannya, mungkin karena sikapnya. Tapi aku belajar bahwa puasa adalah ujian bukan cuma untuk tubuh, tapi untuk pikiran dan hati.

Aku ingat suatu siang Ramadan. Aku sedang mengantre di pasar, lapar dan lelah. Seseorang memotong antrean di depanku, dan aku hampir kehilangan kesabaran.

Lalu aku tarik napas dalam-dalam dan berpikir: “Ini bagian dari puasa.” Aku memilih diam, dan anehnya, aku merasa lebih kuat setelah itu.

Puasa mengajarkanku bahwa sabar itu seperti otot semakin sering dilatih, semakin kokoh ia membentuk. Dan dari sabar itu, pikiranku jadi lebih jernih, hatiku lebih tenang. Wow keren sekali.

Puasa juga mengajarkan kita tentang keterbatasan. Kita belajar bahwa kita tak bisa mengendalikan segalanya tidak bisa makan kapan kita mau, tak bisa minum saat kita haus.

Tapi dari keterbatasan itu, kita menemukan kekuatan. Kita jadi lebih bisa menghadapi hari-hari sulit dengan kepala dingin, lebih bisa tersenyum meski tak semuanya sempurna. Itulah ciri orang yang berjiwa ringan mereka tak mudah goyah.

Dimensi Sosial: Membangun Empati dan Solidaritas

Puasa punya cara untuk membuka mata hati kita. Aku ingat sebuah sore di Ramadan, ketika aku duduk menunggu azan Magrib.

Perutku kosong, dan tiba-tiba aku teringat seorang pedagang kecil di ujung jalan orang yang mungkin tak punya cukup untuk berbuka.

Rasa lapar yang kurasakan membawaku pada pemikiran itu, dan aku jadi ingin berbagi apa yang aku punya.

Puasa mengajarkanku empati dengan cara yang tak bisa diajarkan oleh buku atau ceramah. Ketika kita lapar, kita tahu sedikit saja bagaimana rasanya hidup tanpa jaminan makanan. Dan dari situ, kita belajar peduli.

Aku sering melihat tetangga saling mengirim takjil sepiring kurma atau segelas es buah tanpa diminta. Itu kecil, tapi indah.

Puasa membangun jembatan antar manusia. Puasa mengajak kita untuk tak cuma memikirkan diri sendiri, tapi juga orang lain.

Di Ramadhan, kita jadi lebih murah hati, lebih peka. Kita belajar bahwa kebahagiaan itu tidak lengkap kalau kita simpan sendiri. Murah hati dan lebih peka itu harus dibagi.

Dan dari kebersamaan itu, kita menemukan kekuatan yang lebih besar: solidaritas. Kita jadi bagian dari sesuatu yang lebih luas, sesuatu yang membuat dunia terasa lebih hangat.