Tata Kelola Pemerintahan dalam Bayang-Bayang Kecerdasan Buatan

Oleh:Ulul Albab Akademisi Administrasi Publik; KetuaICMIJawaTimur

insanimedia.id , – Ketika dunia semakin terhubung secara digital, dan algoritma mulai menentukan banyak aspek kehidupan, termasuk pelayanan publik, kita dihadapkan pada pertanyaan penting, yaitu: masihkah nilai-nilai etik, kemanusiaan, dan akuntabilitas menjadi ruh dalam pengelolaan negara?

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) memang membawa angin segar bagi dunia administrasi publik. Ia menjanjikan kecepatan, efisiensi, dan kemampuan memproses data dalam skala besar. Suatu capaian yang dulu tidak terbayangkan dalam sistem birokrasi tradisional. Namun sebagai mana api, teknologiadalahalatnetral:disatusisibisamenjadicahayapencerah,disisilain bisa pula menjadi bara yang membakar jika tidak dituntun oleh nilai-nilai yang benar.

Saatnya Rekonfigurasi Administrasi Publik

Dalam konteks ini, Indonesia perlu melakukan rekonfigurasi model administrasi publik. Artinya, bukan hanya sekadar mengadopsi teknologi canggih, tetapi menata ulang filosofi, struktur, dan proses pelayanan publik agar tetap sejalan dengan semangat good governance, yakni tata kelola yang transparan, partisipatif, adil, dan akuntabel.

Otomatisasi pelayanan publik seperti perizinan digital, bantuan sosial berbasis data, atau sistem pengawasan ASN dengan AI, telah memberi manfaat besar. Tapi juga menimbulkan dilemma, yaitu: siapa yang bertanggungjawab jika mesin keliru? Bagaimana jika data yang digunakan ternyata bias? Dan lebih penting lagi: ke mana peran manusia dalam birokrasi?

Pertanyaan-pertanyaan itu menegaskan bahwa teknologi tidak bisa berdiri sendiri tanpa etika. Inilah saatnya kita mengedepankan konsep AI governance, yakni tata kelola kecerdasan buatan yang tidak hanya efektif, tetapi juga etis dan berkeadaban.

Nilai, Etika, dan Ruh Pelayanan Publik

Pelayananpublikdalamtradisikita,terutamadalamIslam,selaluberpijak pada niat khidmat, pada semangat rahmatan lil alamin,serta prinsip maslahah untuk kemaslahatan umum. Maka AI pun harus dikawal dengan prinsip yang sama.

Dalam implementasi AI di sektor publik, perlu dijaga agar tidak terjadi penyalahgunaan, monopoli kekuasaan data, atau ketimpangan pelayanan yang makin memperlebar jurang sosial. Transparansi dan partisipasi masyarakat menjadi kunci penting dalam menjaga akuntabilitas.

Negara seperti Estonia, Singapura, dan Korea Selatan memberi kita pelajaran penting. Teknologi mereka maju, tapi tidak lupa menyertakan pengawasan publik, lembaga etik, dan keterlibatan warga dalam menyempurnakan sistem yang dibangun. Indonesia pun bisa menuju ke sana, asal ada kemauan politik dan arah kebijakan yang jelas.

Peran ASN dan Etika Digital

Pemerintah dan lembaga negara harus mulaimerancang kurikulum baru bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mencakup literasi digital, etika algoritma, dan pengawasan berbasis nilai. ASN tidak boleh hanya menjadi operatorsistem,tapiharusmenjadipenjaganilaidanmediatorantaramesindan manusia.

Jangan sampai AI mengikis sentuhan kemanusiaan dalam pelayanan. Justru sebaliknya, teknologi harus memperkuat kehadiran negara yang adil, hadir, dan mendengar suara rakyat.

Rekomendasi Strategis

Pertama, Indonesia perlu menyusun kebijakan nasional tentang AI governance yang tegas, berpihak kepada rakyat, dan dilandasi semangat keadilan sosial. Kedua, keterlibatan masyarakat sipil, kampus, dan organisasi keagamaan dalam proses digitalisasi harus diperluas. Ketiga, ASN harus dilatih secara khusus agar menjadi birokrat digital yang cerdas sekaligus berakhlak.

Penutup

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah, dan setiap teknologi adalah ujian. Maka menghadirkan AI dalam ruang publik bukan sekadar soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral.

Marikitajadikanrekayasateknologisebagaijalanmenujutatakelolayang etis,yangtidakhanyacerdas,tetapijugamembelayanglemah,merangkulyang terpinggirkan, dan mengukuhkan kembali nilai luhur dalam mengelola negeri.