insanimedia.id -Setiap tahun, lebih dari 241 ribu jemaah haji asal Indonesia berangkat menuju Tanah Suci. Jumlah itu adalah yang terbesar di dunia. Belum lagi 3 hingga 4 juta jemaah umrah yang berangkat sepanjang tahun. Sementara itu, daftar tunggu haji reguler di sejumlah daerah sudah menyentuh 30 hingga 40 tahun. Skala dan kompleksitas pengelolaan haji-umrah Indonesia bukan hanya fenomena keagamaan, tetapi juga masalah besar dalam tata kelola negara.
Namun hingga kini, urusan haji-umrah masih dikelola oleh sebuah badan yang posisinya belum setara kementerian, yakni Badan Pengelola Haji (BPH). Kelembagaan semacam ini jelas tidak memadai untuk mengurus sektor yang menyangkut ibadah, diplomasi internasional, keuangan triliunan rupiah, kesehatan jemaah, hingga perlindungan hukum. Karena itu, sudah saatnya Indonesia melakukan lompatan kelembagaan dengan membentuk Kementerian Haji dan Umrah.
Mengapa Perlu Kementerian?
Pertama, skala dan kompleksitas penyelenggaraan haji-umrah menuntut lembaga dengan otoritas penuh setingkat kementerian. Urusan haji tidak hanya soal perjalanan, tetapi juga terkait pengelolaan keuangan haji, kontrak layanan dengan otoritas Arab Saudi, logistik, diplomasi, dan pelayanan kesehatan. Dengan status “badan”, otoritas BPH terlalu terbatas untuk mengintegrasikan semua aspek tersebut.
Kedua, negara-negara dengan jumlah jemaah besar seperti Pakistan, India, Turki, dan Malaysia sudah menempatkan urusan haji-umrah dalam kementerian atau lembaga setingkat kementerian. Indonesia, dengan kuota jemaah terbesar di dunia, justru masih tertinggal dalam hal ini.
Ketiga, dari perspektif teori kelembagaan, peningkatan status ke kementerian akan memperkuat capacity and authority (North, 1990; Peters, 2019). Dengan kedudukan setara menteri, koordinasi lintas kementerian lebih efektif, tumpang tindih kewenangan dapat dihindari, dan pengawasan publik lebih kuat.
Keempat, argumentasi good governance juga menguatkan kebutuhan ini. Sebuah kementerian memiliki posisi jelas dalam kabinet, akuntabilitas yang lebih tinggi, serta mekanisme kontrol yang lebih transparan (Osborne & Gaebler, 1992).
Kelima, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah bukan hanya urusan domestik. Ia juga merupakan instrumen soft power diplomacy Indonesia di dunia Islam. Dengan status kementerian, posisi Indonesia dalam bernegosiasi dengan Pemerintah Arab Saudi akan lebih kuat, baik dalam soal kuota tambahan, perbaikan layanan, maupun kebijakan visa.
Momentum Indonesia Emas 2045
Peningkatan status kelembagaan ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045. Tata kelola haji dan umrah yang profesional, modern, dan berkeadaban akan mencerminkan wajah Islam Indonesia yang tertib, ramah, dan berdaya saing global.
Revisi UU No. 8 Tahun 2019 adalah momentum tepat untuk melakukan institutional upgrading. DPR dan Pemerintah tidak boleh melewatkan peluang bersejarah ini.
Seruan untuk DPR dan Pemerintah
Sudah waktunya kita menanggalkan cara pandang lama bahwa haji hanyalah urusan teknis perjalanan. Haji dan umrah adalah bagian dari tata kelola negara, diplomasi, dan pelayanan publik. Karena itu, DPR perlu segera mengesahkan usulan perubahan pasal 1 ayat (26) untuk menjadikan BPH sebagai Kementerian Haji dan Umrah.
Dengan langkah berani ini, Indonesia bukan hanya memastikan pelayanan jemaah yang lebih baik, tetapi juga memperkuat posisi sebagai kiblat peradaban Islam moderat di dunia.