insanimedia.id – Di tengah tekanan ekonomi global dan pelemahan daya beli domestik, pemerintah meluncurkan paket stimulus ekonomi yang disebut “8+4+5”. Angka-angka itu merujuk pada tiga klaster kebijakan, meliputi: delapan program jangka pendek, empat program jangka menengah, dan lima program jangka panjang. Salah satunya, bantuan pangan Rp7 triliun, langsung menyita perhatian publik karena menyentuh kebutuhan pokok masyarakat.
Namun, di balik headline yang menarik, tersisa sejumlah pertanyaan fundamental: bagaimana efektivitasnya, siapa yang benar-benar diuntungkan, dan apakah skema ini selaras dengan arah reformasi fiskal yang lebih berkelanjutan?
Kronologi dan Isi Paket
Paket ini baru diumumkan pada awal September ini sebagai respons atas gejolak harga pangan, pelemahan rupiah, dan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menegaskan, langkah ini bukan hanya berfungsi sebagai “bantuan darurat”, tetapi berfungsi juga sebagai strategi penataan kebijakan fiskal.
Delapan program jangka pendek itu mencakup: bantuan pangan, subsidi pupuk tambahan, stabilisasi harga beras melalui Bulog, insentif UMKM, percepatan proyek padat karya, dukungan transportasi rakyat, bantuan listrik rumah tangga miskin, serta program stabilisasi BBM non-subsidi.
Empat program jangka menengah diarahkan pada reformasi perpajakan, penguatan ketahanan pangan, diversifikasi energi, dan modernisasi logistik.
Sedangkan lima program jangka panjang menitikberatkan pada industrialisasi berbasis hilirisasi, ekonomi hijau, pengembangan pariwisata, transformasi digital, dan reformasi birokrasi.
Analisis Kebijakan
Secara normatif, kebijakan ini berada dalam kerangka Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pertanyaannya, apakah desain stimulus 8+4+5 sudah memenuhi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan keadilan?
Pertama, transparansi data. Rakyat hingga kini belum memperoleh detail teknis pembagian anggaran tiap program, kriteria penerima, serta mekanisme evaluasi. Padahal, tanpa transparansi, potensi moral hazard, misalnya penyaluran bantuan tidak tepat sasaran, akan tetap tinggi.
Kedua, efektivitas sasaran. Bantuan pangan Rp7 triliun memang menjanjikan, tetapi harus diukur dengan indikator jelas: apakah mampu menekan inflasi pangan? apakah benar-benar menjangkau keluarga miskin yang paling terdampak?
Ketiga, sinkronisasi antarprogram. Stabilisasi harga beras oleh Bulog, misalnya, harus diintegrasikan dengan kebijakan pupuk dan proyek padat karya. Tanpa koordinasi lintas kementerian, program akan berjalan parsial.
Keempat, aspek keberlanjutan fiskal. Dengan defisit APBN yang sudah ketat, tambahan belanja Rp7 triliun bukan angka kecil. Pemerintah harus memastikan stimulus tidak sekadar untuk upaya “memadamkan api” jangka pendek, tetapi juga menopang reformasi struktural.
Dimensi Hukum dan Akuntabilitas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa pengelolaan APBN harus menjunjung asas transparansi dan akuntabilitas. Pasal 3 ayat (1) UU tersebut menyatakan: “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.”
Di sinilah titik kritis paket 8+4+5: apakah semua instrumen sudah memenuhi kriteria “efektif” dan “transparan”? Tanpa audit independen dan pengawasan publik, sulit memastikan stimulus tidak berakhir sebagai program populis yang menyedot fiskal tanpa memberi dampak signifikan.
Apa yang Belum Jelas
Beberapa hal masih membutuhkan klarifikasi pemerintah. Pertama, bagaimana desain indikator keberhasilan tiap program? Kedua, apa basis data penerima bantuan pangan, apakah merujuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau data baru? Ketiga, bagaimana sinkronisasi antara program pusat dan daerah, mengingat beberapa stimulus (misalnya padat karya) bersinggungan dengan kewenangan pemerintah daerah?
Rakyat berhak mendapatkan penjelasan ini, sebab tanpa informasi yang valid, ruang spekulasi dan politisasi akan semakin lebar.
Paket stimulus 8+4+5 memang menawarkan secercah harapan di tengah situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Namun, harapan itu hanya akan bermakna bila dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi lintas sektor. Jangan sampai stimulus hanya menjadi “headline” yang menggugah, tetapi gagal menjadi instrumen reformasi fiskal yang sejati.
Masyarakat kini menunggu bukti, bukan hanya janji. Pemerintah perlu membuka detail teknis, mengundang partisipasi akademisi, asosiasi masyarakat sipil, serta auditor independen untuk mengawal implementasi. Tanpa itu semua, stimulus 8+4+5 berpotensi tinggal sebagai angka-angka indah di atas kertas. Bahkan bisa berpotensi menambah Panjang catatan kasus korupsi birokrasi yang memang sudah panjang kali lebar kali tinggi.