insanimedia.id – Indonesia pada awal 1960-an berdiri di tepi jurang sejarah. Ketegangan politik kian menajam seiring pertarungan ideologi yang memecah bangsa: di satu sisi Pancasila dan semangat keislaman yang menegaskan Ketuhanan, di sisi lain komunisme yang menolak nilai-nilai ilahi dan mengusung materialisme radikal.
Situasi menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) bukan hanya perselisihan wacana, melainkan perebutan arah masa depan republik. Di jalanan, di kampus, hingga di ruang-ruang kekuasaan, ketegangan itu terasa seperti bara yang menunggu ledakan.
Istilah “darah dan ideologi” menemukan maknanya pada babak sejarah ini. Pertarungan yang terjadi bukan sekadar adu gagasan di atas kertas, tetapi juga perjuangan yang menuntut pengorbanan fisik, bahkan nyawa. Banyak pemuda, termasuk kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), harus menanggung risiko intimidasi, penangkapan, hingga kehilangan rekan seperjuangan demi mempertahankan keyakinan akan Pancasila dan nilai-nilai keislaman.
Kini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang menggugah: mengapa peristiwa ini tetap penting untuk diingat generasi sekarang? Apakah sekadar kenangan sejarah, ataukah ia menjadi peringatan abadi bahwa kebebasan dan ketuhanan tidak pernah terlepas dari tantangan ideologi yang datang silih berganti?
Latar Belakang HMI sebagai Kekuatan Pemuda Islam.
Sejak kelahirannya pada 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan generasi muda Indonesia untuk memadukan semangat keislaman dengan cita-cita kebangsaan. Di tengah suasana pasca-kemerdekaan yang penuh gejolak, HMI tumbuh bukan sekadar sebagai organisasi mahasiswa, melainkan sebagai wadah pembinaan intelektual yang meneguhkan identitas pemuda muslim Indonesia.
Nilai dasar keislaman dan komitmen kebangsaan yang menjadi ruh perjuangan HMI menempatkannya sebagai kekuatan moral yang siap merespons berbagai tantangan zaman, termasuk ancaman ideologi yang berlawanan dengan Pancasila.
Memasuki dekade 1960-an, panggilan sejarah itu menjadi semakin nyata. Indonesia saat itu berada dalam pusaran pertarungan ideologi yang keras antara nasionalisme-Pancasila, kekuatan keagamaan, dan komunisme yang gencar menancapkan pengaruh. Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak hanya bergerak di ranah politik, tetapi juga menyasar kampus, organisasi pemuda, dan berbagai ruang publik sebagai basis penyebaran paham materialisme dan ateisme.
Dalam konteks inilah HMI tampil sebagai kekuatan pemuda Islam yang tidak hanya menyadari bahaya komunisme, tetapi juga menegaskan posisi ideologisnya: menjaga nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Pancasila, sekaligus mempertahankan kemerdekaan berpikir yang berakar pada iman.
Dengan jaringan kader yang meluas di berbagai perguruan tinggi, HMI menjadikan kampus sebagai medan penting perlawanan gagasan. Diskusi intelektual, pelatihan kader, penerbitan buletin, hingga aksi-aksi massa menjadi cara HMI mengokohkan benteng ideologis di tengah penetrasi komunis.
Di ruang-ruang akademik, para kader HMI menggelar forum yang menegaskan bahwa Pancasila dan Islam bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan fondasi yang saling menguatkan dalam menjaga keutuhan bangsa.
Keberanian untuk menjaga ruang intelektual dari pengaruh ideologi ateis menjadikan HMI lebih dari sekadar organisasi mahasiswa: ia tampil sebagai garda pemuda Islam yang siap mempertaruhkan tenaga dan pemikiran demi mempertahankan jati diri Indonesia.
Kiprah HMI dalam Melawan PKI Ketika pertarungan ideologi mencapai puncaknya pada awal hingga pertengahan 1960-an, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tidak tinggal diam.
Sebagai organisasi mahasiswa Islam terbesar, HMI memandang komunisme bukan sekadar ancaman politik, melainkan tantangan terhadap keyakinan dasar bangsa yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Gerakan mereka tidak hanya berlangsung di ruang-ruang wacana, tetapi menjelma menjadi aktivitas nyata yang terorganisir.
HMI gencar menyebarkan propaganda anti-komunis melalui buletin, selebaran, dan diskusi publik untuk menyingkap bahaya atheisme dan materialisme yang diusung PKI. Pendidikan kader pun diperkuat; setiap pelatihan, diskusi, dan kajian diarahkan agar mahasiswa memahami secara intelektual mengapa komunisme bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai keislaman.
Upaya ini tidak dapat dipisahkan dari peran tokoh-tokoh HMI yang berani mengambil risiko di tengah situasi politik yang tidak menentu. Di berbagai daerah, kader HMI memimpin demonstrasi, mengorganisir forum kampus, dan menekan pengaruh PKI melalui aksi-aksi massa.
Nama-nama seperti Lafran Pane, Nurcholish Madjid, dan sejumlah aktivis lokal menjadi motor penggerak yang memantik kesadaran mahasiswa bahwa perlawanan terhadap komunisme adalah bagian dari menjaga masa depan Indonesia.
Di kampus-kampus besar, HMI menjadi benteng terakhir yang memastikan ruang intelektual tidak dikuasai paham yang menafikan ketuhanan.
Benturan ideologi antara Islam dan komunisme berlangsung menegangkan. Di lapangan, perdebatan gagasan kerap berujung intimidasi fisik, ancaman kekerasan, hingga pertarungan politik yang sengit.
Bagi kader HMI, mempertahankan keyakinan berarti siap menghadapi risiko besar. Tidak sedikit anggota yang mengalami penangkapan, penganiayaan, bahkan kehilangan nyawa akibat sikap tegas mereka menolak dominasi PKI. Sejarah mencatat bahwa darah perjuangan benar-benar mengalir dalam upaya mempertahankan nilai Pancasila dan iman keislaman.
Pengorbanan para kader HMI menjadi bukti bahwa pertarungan melawan komunisme tidak berhenti pada tataran ideologis semata.
Ia adalah perjuangan menyeluruh melibatkan pikiran, tenaga, dan nyawa demi memastikan bahwa Indonesia tetap berdiri di atas dasar Ketuhanan dan kemanusiaan. Semangat ini kemudian menjadi warisan moral yang meneguhkan generasi HMI selanjutnya bahwa menjaga bangsa berarti siap mempertahankan iman dan kebebasan, bahkan dalam situasi paling genting sekalipun.
Refleksi untuk Generasi Kini
Enam dekade setelah tragedi G30S/PKI, perdebatan tentang bahaya laten komunisme tetap muncul di ruang publik, meskipun wujudnya tidak lagi sekeras era 1960-an. Bagi generasi sekarang, istilah itu mungkin terdengar seperti potongan sejarah yang jauh dari kehidupan sehari-hari.
Namun, bahaya laten PKI sejatinya dapat dipahami sebagai simbol ancaman ideologi apa pun yang menafikan nilai ketuhanan, merendahkan kemanusiaan, dan menolak prinsip dasar Pancasila. Ancaman itu bisa datang dengan wajah berbeda: sekularisme ekstrem yang menafikan agama, arus radikalisme yang memecah belah bangsa, atau bahkan informasi palsu di era post-truth yang menggerus kesadaran moral.
Di tengah dunia modern yang penuh disrupsi informasi, nilai Pancasila dan Islam tetap menjadi jangkar moral yang tidak boleh ditinggalkan.
Pancasila menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai fondasi bersama, sementara Islam memberi arah spiritual dan etika sosial yang membimbing kehidupan bangsa. Menjaga keseimbangan keduanya bukan sekadar urusan masa lalu, melainkan kebutuhan mendesak agar bangsa ini tidak kehilangan jati diri di tengah derasnya arus globalisasi dan pertarungan ideologi baru yang lebih halus, namun sama-sama berbahaya.
Bagi mahasiswa HMI masa kini, refleksi sejarah G30S/PKI bukan hanya bahan kajian, tetapi juga panggilan moral. Peran HMI sebagai garda pemuda Islam tetap relevan: menjadi penjaga moralitas, pengawal nilai ketuhanan, dan benteng intelektual bangsa. Tantangan zaman memang berubah, namun esensinya tetap sama memastikan Indonesia tetap berdiri di atas fondasi iman, kemanusiaan, dan keadilan. Mengingat darah dan pengorbanan kader pendahulu, setiap anggota HMI hari ini diingatkan bahwa menjaga ideologi bangsa bukan sekadar tugas sejarah, melainkan amanah yang harus terus diperjuangkan dengan kecerdasan, keberanian, dan ketulusan.
Penutup
Sejarah adalah cermin; darah dan ideologi yang pernah ditumpahkan harus menjadi energi menjaga Indonesia. Perjuangan HMI melawan PKI bukan hanya kisah heroik masa lampau, tetapi pesan abadi bahwa setiap generasi memiliki tugas untuk menjaga kedaulatan bangsa dan kemurnian nilai-nilai ketuhanan.
Ancaman ideologi mungkin berubah rupa, tetapi semangat keteguhan iman dan keberanian moral yang diwariskan para kader terdahulu harus tetap menyala. Di tengah derasnya arus disrupsi informasi dan pertarungan gagasan zaman kini, semangat itu menjadi pengingat bahwa kemerdekaan berpikir, keadilan sosial, dan ketuhanan tidak pernah boleh dikompromikan. Sejarah telah membuktikan, hanya bangsa yang setia pada nilai-nilai dasarnya yang akan tetap tegak menghadapi setiap tantangan zaman.



