insanimedia.id – Di negara kita, bansos sudah seperti ritual rutin. Masuk anggaran, cair, ramai di televisi, seolah-olah masalah kemiskinan selesai. Tapi siapa sangka, ternyata ada yang menerima bansos diam-diam… dan diam saja. Uangnya tidak dipakai. Tidak pernah ditarik. Tidak pernah disentuh. Tapi masuk terus.
Saya jadi ingat kisah seorang ibu di desa yang mengeluh, karena tidak pernah dapat bansos. Padahalhidupnya pas-pasan. “Mungkin karena saya tidakpunya rekening, Pak,” katanya.
Lalu saya tanya dalam hati: Apakah program bansos kita lebih berpihak kepada yang punya rekening, ketimbang yang butuh?
Sistem Pintar, Tapi Kehilangan Nurani
Saya tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Tapi saya ingin mengajak kita semua merenung: Apakahkita sedang membangun sistem yang efisien, tapikehilangan nurani?
Sistem bansos kita berbasis data
Tapi data siapa?Data dari siapa? Diverifikasi oleh siapa? Apakahmasyarakat terlibat memverifikasi? Apakah aparatdesa atau RT setempat tahu bahwa warga yang tidakpernah muncul, tidak pernah mengambil uang, justrujadi langganan penerima?
Saya jadi bertanya: Apakah sistem ini benar-benardibangun untuk rakyat, atau hanya untuk memenuhitarget administratif?
Dua Kemungkinan: Lupa atau Sengaja
Kembali ke pertanyaan awal: Apakah ini amanahyang terlupakan, atau kesengajaan yang baruketahuan?
Jika ini kelalaian, kita butuh reformasi. Jika inikesengajaan, kita butuh penegakan hukum. Jika inidua-duanya, kita butuh keberanian.
Saya percaya, banyak niat baik di balik sistembansos. Tapi kita tidak bisa membiarkan niat baikdikalahkan oleh ketidakbecusan atau bahkanmanipulasi. Niat baik tidak cukup. Harus ada governance. Harus ada integritas.
Harapan dari Kerja Sama PPATK dan Kemensos
Saya senang membaca langkah Menteri Sosial Gus Ipul yang menggandeng PPATK. Ini langkah maju. Bansos bukan hanya soal uang, tapi soal kepercayaan negara kepada rakyat. Jika dana bantuan bisa nyasar ke rekening yang tak aktif lima tahun, ke mana lagi rasa keadilan ini tersesat ?.
Semoga kerja sama ini bukan hanya bersifat teknis dan insidental. Tapi menjadi pintu masuk menuju sistem yang berbasis nilai, akurat, transparan, dan partisipatif.
Kalau perlu, bentuk dashboard publik. Warga bisa lihat bansos di kampungnya siapa yang dapat. Biar ada kontrol sosial. Biar rakyat juga bisa bicara: “Yang ini kok dapat, padahal motornya lebih barudari Pak Lurah?”
Penutup: Bansos Adalah Cermin Negara
Bansos itu bukan hanya uang. Ia adalah wajahnegara di mata rakyat kecil. Maka bila salah sasaran, keliru data, atau malah jadi lahan penyimpangan, maka yang tercoreng bukan hanya Kemensos. Tapi citra negara itu sendiri.
Kita harus jujur: Kalau Rp 2 triliun bisa ‘ngendap’ di rekening yang tidak layak, artinya ada sesuatu yang salah. Dan kalau kesalahan ini sudah terjadi lama, tapi baru sekarang ketahuan, jangan-jangan kita terlalu lama membiarkannya.
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan. Tapi untuk mengingatkan:
Negara besar bukan yang punya banyak bansos, tapi yang tahu ke mana bansosnya harus pergi.
______________
Catatan: Saya percaya, ini bukan akhir cerita. Ini baruhalaman pertama dari pembenahan panjang. Mari kita kawal. Mari kita jaga. Karena amanah tidak boleh hanya disampaikan. Ia harus dijaga sampai tuntas.
(Semua Bentuk Tulisan dan Isinya Tanggungjawab Penulis)



