Chromebook, Nadiem, dan Bayangan Korupsi: Saat Integritas Sistem Pengadaan Dipertaruhkan

Oleh: Ulul Albab Akademisi Universitas Dr. Soetomo Ketua ICMI Jawa Timur

insanimedia.id , – Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud ristek) yang mencuat baru-baru ini kembali menyoroti pentingnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Kendati pengadaan ini diklaim telah didampingi oleh lembaga penegak hukum dan pengawas negara, seperti Jaksa Pengacara Negara (Jamdatun), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), penyidikan Kejaksaan Agung menunjukkan indikasi kuat adanya penyimpangan dan pemufakatan jahat dalam prosesnya.

Dari perspektif hukum positif, persoalan utama yang dapat dikedepankan adalah potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dugaan pengondisian hasil kajian teknis agar mengarah pada pilihan sistem operasi tertentu (Chrome OS) meski rekomendasi awal menyarankan penggunaan Windows, dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan curang.

Di sini, pendampingan hukum dari Jamdatun, yang bersifat normatif dan non-bindings, tidak serta-merta menghapuskan potensi pidana jika terbukti terjadi pelanggaran dalam implementasi kebijakan.

Dalam kerangka ilmu administrasi publik, kasus ini mencerminkan lemahnya profesionalisme dalam proses pengambilan keputusan birokrasi. Ketika hasil kajian teknis yang telah diuji dan disusun secara objektif disingkirkan, lalu diganti dengan kajian baru yang sesuai dengan kepentingan tertentu, maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip evidence-based policy.

Keterlibatan staf khusus menteri dalam pengadaan teknis, jika terbukti, semakin menegaskan betapa kaburnya batas antara peran politis dan administratif dalam birokrasi kita.

Dari sudut ekonomi publik, pemborosan anggaran menjadi sorotan utama. Hampir Rp10 triliun dana negara, yang terdiri dari Dana Satuan Pendidikan (DSP) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), digelontorkan untuk pengadaan perangkat yang hasil evaluasi awalnya bahkan dinyatakan tidak efektif.

Jika produk yang dibeli tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan, maka selain merugikan keuangan negara, juga mencederai rasa keadilan sosial. Dana sebesar itu bisa diarahkan pada program-program peningkatan kapasitas guru, akses internet sekolah, atau pelatihan literasi digital yang jauh lebih berdampak jangka panjang.

Lebih jauh, kasus ini menunjukkan betapa sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah masih rawan dimanipulasi meskipun secara formal melibatkan berbagai lembaga pengawas. Betapapun hal ini mengindikasikan adanya krisis kepercayaan terhadap institusi publik. Pendampingan hukum dan pengawasan akan menjadi sia-sia jika integritas para pengambil keputusan diragukan.

Sebagai bagian dari pembelajaran institusional, pemerintah ke depan harus melakukan langkah-langkah konkret. Antara lain:

Pertama, memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan melalui audit digital berbasis teknologi dan partisipasi publik. Kedua, membatasi intervensi pihak-pihak non-teknis, termasuk staf khusus, dalam proses-proses yang seharusnya bersifat profesional. Ketiga, memperjelas batas tanggung jawab hukum dalam pendampingan institusional seperti Jamdatun agar tidak disalahartikan sebagai bentuk imunitas.

Akhirnya perlu juga kita catat dengan tinta tebal, bahwa kasus Chromebook bukan sekadar tentang laptop. Kasus ini mencerminkan potret integritas tata kelola yang masih rawan dan sedang diuji. Dan dari sinilah masa depan birokrasi yang bersih dan efektif harus dimulai.

Kasus ini, dan kasus-kasus sejenis lainnya yang sudah terungkap atau dipetieskan, harus menjadi Pelajaran serius untuk mereformasi tata kelola birokrasi yang bersih dan berwibawa, serta bebas korupsi.