Dilema Alumni (KAHMI): Antara Idealisme Organisasi dan Pragmatisme Politik

Penulis : Muhamad Reza Ananda Kader Hmi Jakarta

Ridwan

insanimedia.id – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu organisasi kemahasiswaan tertua dan paling berpengaruh di Indonesia. Dikenal dengan moto “Yakin Usaha Sampai,” HMI telah menjadi kawah candradimuka yang melahirkan ribuan aktivis, akademisi, hingga pemimpin negara.

Namun, setelah melewati fase mahasiswa, para kader ini bergabung dalam Korps Alumni HMI (KAHMI), sebuah entitas yang kerap kali menghadapi dilema eksistensial: bagaimana menyeimbangkan idealisme organisasi yang tertanam kuat dengan tuntutan pragmatisme dunia politik dan kekuasaan.

Dilema ini bukan sekadar masalah etika personal, melainkan isu struktural yang menentukan arah gerak HMI secara keseluruhan. Ketika alumni menduduki jabatan publik, peran mereka selalu dipertanyakan: apakah mereka hadir sebagai agen perubahan yang membawa nilai-nilai ke-HMI-an, ataukah mereka hanyut dalam arus kepentingan politik praktis?

Fondasi Idealisme: Khittah dan NKK
Idealisme yang dianut kader HMI berakar kuat pada dua pondasi utama. Pertama, Khittah Perjuangan HMI, yang menegaskan bahwa organisasi ini berorientasi pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta harus independen dari kepentingan partai politik mana pun.

Kedua, semangat Nalar Kritis dan Komitmen Kebangsaan (NKK) yang ditanamkan melalui sistem perkaderan. Alumni seharusnya menjadi intellectual layer (lapisan pencerah) yang menyuarakan kebenaran, melawan ketidakadilan, dan mengutamakan kepentingan umat dan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Ketika seorang alumni menjabat sebagai menteri, anggota DPR, atau kepala daerah, publik berharap ia akan mengimplementasikan nilai-nilai ini: anti-korupsi, pro-rakyat, dan berpihak pada pembangunan sumber daya manusia yang berbasis moral. Inilah janji idealisme yang dibawa dari forum-forum diskusi dan latihan kader.

Jebakan Pragmatisme Politik
Namun, lanskap politik adalah medan yang keras dan penuh kompromi. Begitu memasuki arena kekuasaan, alumni KAHMI dihadapkan pada pragmatisme politik yang menuntut penyesuaian:
1. Loyalitas Ganda: Seorang politisi KAHMI tidak hanya dituntut loyal kepada HMI, tetapi juga kepada partai politiknya, konstituennya, dan koalisi kekuasaan. Seringkali, tuntutan partai politik untuk mengamankan suara atau mempertahankan jabatan bertabrakan langsung dengan idealisme HMI untuk menolak kebijakan yang tidak populer atau koruptif.
2. Ketergantungan Struktur: Untuk maju dan berkuasa, alumni harus tunduk pada mekanisme partai politik. Ini membutuhkan lobi, negosiasi, dan terkadang, kompromi etis yang jauh dari semangat independensi HMI. Ambisi untuk “memperbaiki sistem dari dalam” seringkali harus dibayar mahal dengan “terkontaminasi oleh sistem.”
3. Kekuatan Jejaring vs. Kekuatan Gagasan: KAHMI memiliki jejaring yang luar biasa kuat. Namun, fokus sering bergeser dari memperjuangkan gagasan besar menjadi sekadar memanfaatkan jejaring (kapital sosial) untuk meraih dan mempertahankan posisi.

Baca Juga :  Umrah Mandiri: Bebas tapi Membahayakan

Pertemuan KAHMI bisa menjadi ajang konsolidasi kekuatan politik, bukan forum untuk merumuskan solusi kebangsaan.
Dampak pada Organisasi Mahasiswa (HMI)
Dilema yang dihadapi alumni secara langsung memengaruhi eksistensi HMI sebagai organisasi mahasiswa.

Dampak Positif (Simbolis): Keberhasilan alumni di kancah nasional memberikan kebanggaan dan legitimasi bagi HMI. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa sistem perkaderan HMI mampu menghasilkan pemimpin berkualitas. Alumni yang berintegritas juga dapat menjadi tameng bagi HMI saat organisasi tersebut diserang atau dikriminalisasi.

Dampak Negatif (Struktural dan Ideologis):
• Hilangnya Daya Kritis: Ketika alumni menjadi bagian tak terpisahkan dari kekuasaan, HMI di tingkat mahasiswa sering kali kesulitan melancarkan kritik yang tajam dan jujur. Ada kekhawatiran bahwa mengkritik kebijakan pemerintah sama dengan mengkritik “alumni sendiri,” yang bisa berujung pada terputusnya aliran dana atau dukungan struktural.
• Politisasi Internal: Kontestasi dalam pemilihan ketua umum HMI (PB HMI) dan cabang-cabang seringkali diwarnai intervensi dan kepentingan dari faksi-faksi alumni yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Hal ini mengubah orientasi kader dari perjuangan gagasan menjadi perburuan jabatan yang disokong alumni.
• Bias Keberpihakan: Jika KAHMI terfragmentasi dalam berbagai kubu politik, HMI mahasiswa akan terdorong untuk berafiliasi, menghilangkan ciri independennya dan menjadikannya sekadar underbow (sayap) partai politik, yang merupakan pelanggaran fundamental terhadap Khittah Perjuangan HMI.
Jalan Keluar: Membangun HMI Value di Ruang Publik
Untuk mengatasi dilema ini, alumni KAHMI harus secara sadar dan konsisten kembali pada spirit awal:
1. Mengutamakan Etika Publik: Setiap alumni di jabatan publik wajib menjadikan nilai-nilai HMI (integritas, keadilan, anti-korupsi) sebagai standar etika minimal di atas tuntutan politik praktis. Kekuasaan harus dilihat sebagai amanah, bukan tujuan akhir.
2. Menjadi Jembatan Kritik, Bukan Benteng Kekuasaan: Alumni seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan idealisme mahasiswa dengan realitas kekuasaan. Mereka harus terbuka dan bahkan memfasilitasi kritik dari HMI mahasiswa sebagai mekanisme self-correction terhadap kebijakan yang mereka buat atau dukung.
3. KAHMI sebagai Think Tank Independen: KAHMI harus berfungsi sebagai think tank atau kelompok cendekiawan yang independen, yang fokus menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis penelitian dan data, bukan sekadar basis massa politik. Ini akan menggeser fokus dari penguasaan jabatan ke pengaruh gagasan.

Baca Juga :  "Uang di Bawah Kasur Hakim: Simbol Bobroknya Hukum atau Bukti Darurat Integritas?"

Dilema alumni KAHMI adalah refleksi abadi dari pertarungan antara idealitas dan realitas dalam sejarah bangsa. Alumni tidak bisa sepenuhnya menghindari politik, sebab itu adalah ruang pengambilan keputusan. Namun, mereka harus berjuang keras agar pragmatisme tidak menelan idealisme.

Tugas utama mereka adalah membuktikan bahwa menjadi seorang politisi KAHMI berarti menjadi politisi yang berbeda—yang mengutamakan nilai, bukan sekadar kekuasaan, demi cita-cita mulia mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.