Blitar, insanimedia.id – Baru-baru ini, sebuah infografis yang membandingkan data kemiskinan di Indonesia menjadi sorotan di media sosial.
Infografis tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan antara angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia.
Perbedaan ini memicu diskusi publik mengenai metodologi dan standar yang digunakan oleh kedua lembaga tersebut dalam mengukur kemiskinan.
Andrean Permadi, Dosen Ekonomi Syariah Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar menyebutkan bahwa akurasi data merupakan hal yang terpenting dalam melakukan pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia karena berkaitan dengan kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah.
“Kalo menurut saya yang terpenting adalah akurasi datanya, karena nantinya kan berpengaruh pada kebijakan pemerintah, ” ungkapnya.
Ia mengambil contoh, jika data kemiskinan tidak mencerminkan kondisi nyata, hal tersebut dapat berdampak langsung pada program – program sosial pemerintah.
“Dampaknya cukup serius seperti pemberian bantuan sosial Progam Keluarga Harapan (PKH) yang tidak tepat sasaran, subsidi yang tidak tepat, dan ketimpangan sosial, ” tuturnya.
Ia mengatakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akurasi data tingkat kemiskinan oleh BPS seperti penggunaan teknologi yang dapat mengakomodir big data dan dapat diupdate secara real-time.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya perpaduan metodologi yang digunakan selain dari aspek pengeluaran juga menggunakan pendekatan kemiskinan multidimensi lainnya.
Terakhir, ia juga menekankan pentingnya sinkronisasi data antara BPS dengan lembaga-lembaga terkait lainnya seperti kementerian dan Bank Indonesia.
Dengan itu, ia berharap data tingkat kemiskinan di Indonesia memiliki tingkat validitas tinggi dan dapat membantu pemerintah menentukan kebijakan yang tepat.(bim)