Fitrah Manusia: Karunia Allah yang Unik

Ridwan
Tadarus Membaca Al Qur’an pada Bulan Suci Ramadhan (ilustrasi)

Kajian Islam, insanimedia.id – Bayangkan seorang bayi yang baru lahir matanya yang jernih, tangisnya yang polos, senyumnya yang tak dibuat-buat. Di dalam diri kecil itu, ada sesuatu yang suci, sesuatu yang alami, yang kita sebut *fitrah*.

Kajian oleh : Ir. LA Mema Parandy, S.T.,M.M., CBPA. – Departemen Kerjasama Wilayah Jateng, Jatim & Bali Badan Kejuruan Teknik Industri – Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI PII 2024-2027)

Rasulullah pernah mengatakan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan *fitrah* hati yang bersih, jiwa yang murni, dan kecenderungan untuk mencari kebenaran. Tapi, seiring waktu, dunia datang dengan segala warnanya, pendidikan, lingkungan, pengalaman, dan mulai menggoreskan cerita di atas kertas putih itu.

*Fitrah* adalah hadiah pertama dari Allah untuk kita. Aku membayangkannya seperti benih kecil yang ditanam di hati setiap manusia benih yang tahu mana yang baik dan mana yang salah, yang rindu pada keadilan dan kasih sayang, yang selalu ingin pulang ke sisi Penciptanya.

Ini adalah karunia yang membuat kita istimewa, yang membedakan kita dari makhluk lain di bumi ini. Al-Qur’an menyebut kita sebagai khalifah penjaga dunia yang diberi amanah besar.

Dan untuk menjalankan amanah itu, Allah tak membiarkan kita kosong. Ia memberi kita hati yang peka, pikiran yang bisa memilih, dan jiwa yang tak pernah benar-benar lupa pada kebaikan.

Tapi, hidup ini tak selalu mudah pada *fitrah* kita. Aku ingat hari-hari ketika aku terlalu sibuk mengejar sesuatu pekerjaan yang tak ada habisnya, tagihan yang menumpuk, atau sekadar keinginan untuk terlihat baik di mata orang lain.

Di tengah semua itu, aku sering lupa berhenti dan bertanya: “Apa yang sebenarnya aku cari ?” Hidup modern punya cara untuk menutupi *fitrah* kita dengan distraksi, dengan ego, dengan kebiasaan kecil yang lama-lama jadi besar. Hati yang dulu jernih mulai berdebu, dan jiwa yang dulu ringan mulai terasa berat.

Baca Juga :  Maukah Anda Kami Ajak Meningkatkan Puasa 30 Hari Kita di Bulan Ramadhan Menjadi Puasa Setahun?

Aku pernah duduk di tepi jalan suatu sore, setelah hari yang panjang. Aku lelah bukan cuma fisik, tapi juga hati. Aku merasa jauh dari diriku sendiri, seperti ada lapisan-lapisan yang menutupi siapa aku sebenarnya.

Tapi lalu aku ingat Ramadan, bulan yang datang seperti hujan di musim kemarau. Puasa mengajak kita untuk membersihkan debu itu, untuk melepas lapisan-lapisan yang tak kita butuhkan.

Saat kita menahan lapar, kita belajar menghargai apa yang kita miliki. Saat kita diam di tengah godaan untuk marah, kita belajar bahwa sabar itu lebih berharga dari kemenangan sesaat.

*Fitrah* kita tak pernah benar-benar hilang. Ia seperti mata air yang tersembunyi di bawah tanah—selalu ada, meski kadang tertutup. Dan Ramadan adalah alat yang Allah beri untuk menggalinya kembali.

Ramadhan mengajak kita melihat bahwa kita bukan cuma tubuh yang butuh makan dan minum, tapi juga jiwa yang butuh damai dan makna. Di bulan ini, kita belajar bahwa kebaikan itu alami.

Kebaikan itu ada dalam diri kita sejak awal. Yang perlu kita lakukan hanyalah memberi ruang untuknya tumbuh.

Aku pernah mendengar cerita dari seorang teman tentang anak kecil yang memberi sepotong roti pada pengemis di pinggir jalan. Anak itu tak berpikir panjang—ia hanya merasa itu yang harus ia lakukan.

Itulah *fitrah* dalam bentuknya yang paling sederhana: dorongan untuk berbuat baik tanpa mengharap apa-apa. Dan Ramadan mengingatkan kita bahwa dorongan itu masih ada dalam diri kita semua, menunggu untuk dibangunkan.