insanimedia.id – Beberapa waktu belakangan, antrean di toko emas kembali jadi pemandangan yang lumrah. Tak hanya di butik Antam, tapi juga di gerai-gerai konvensional hingga aplikasi digital. Semua berebut beli emas. Apa sebabnya?
Emas dianggap penyelamat nilai di tengah ekonomi yang tidak pasti, apalagi ketika Rupiah semakin loyo dan Dolar AS terus menanjak. Tapi, benarkah semua ini murni karena strategi keuangan yang bijak? Atau jangan-jangan, kita sedang terkena FOMO?
Istilah FOMO (Fear of Missing Out) mengacu pada rasa takut tertinggal tren atau peluang yang sedang ramai dibicarakan. Dalam konteks emas, FOMO ini membuat banyak orang ikut-ikutan membeli emas hanya karena melihat orang lain melakukannya. Akibatnya, banyak yang masuk di harga tinggi tanpa strategi yang matang.
Emas: Aset Favorit Saat Krisis
Tidak bisa dipungkiri, emas memang punya daya tarik tersendiri. Ia disebut safe haven, karena nilainya cenderung naik saat krisis. Data dari World Gold Council menunjukkan, harga emas global naik sekitar 15 persen sepanjang 2024.
Di Indonesia, harga emas batangan Antam naik dari Rp1,2 juta menjadi Rp1,35 juta per gram hanya dalam waktu empat bulan pertama 2025. Tidak heran jika banyak orang melihat emas sebagai perlindungan dari inflasi dan depresiasi Rupiah.
Selain itu, emas juga punya keunggulan sebagai aset yang likuid. Mudah dijual, mudah diuangkan. Bisa dipegang bentuk fisiknya, atau dibeli dalam bentuk digital lewat aplikasi.
Tapi justru di sinilah jebakannya. Karena terlalu mudah diakses dan terlalu sering dilihat sebagai “investasi pasti untung”, banyak orang tergoda beli tanpa pertimbangan matang.
Kapan Emas Bisa Merugikan?
Emas memang punya kilau, tapi bukan berarti tanpa risiko. Pertama, harga emas bisa sangat fluktuatif. Ketika harga Dolar turun atau suku bunga The Fed naik, harga emas bisa terkoreksi tajam.
Kalau Anda beli saat harga tinggi dan tiba-tiba turun, siap-siap kecewa.
Kedua, emas tidak menghasilkan pendapatan pasif. Ia hanya disimpan, tanpa bisa “bekerja” seperti saham yang memberi dividen atau properti yang bisa disewakan.
Ketiga, ada biaya tambahan yang sering luput dari perhitungan. Cetak sertifikat, simpan di brankas, pajak, hingga biaya administrasi platform digital—semuanya bisa menggerus keuntungan.
Dan terakhir, jangan lupa risiko penipuan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lebih dari 100 kasus penipuan emas digital sepanjang 2024. Beli emas bukan hanya soal murah dan mahal, tapi soal kepercayaan dan keamanan.
Jangan Asal Ikut-Ikutan
Dalam dunia investasi, prinsip utama yang harus dipegang adalah: pahami dulu, baru beli. Jangan beli hanya karena takut ketinggalan. Jangan juga menaruh semua uang di satu tempat. Investasi ideal adalah yang sesuai dengan tujuan, profil risiko, dan jangka waktu keuangan kita.
Kalau tetap ingin beli emas, lakukan dengan strategi. Salah satunya dengan metode dollar cost averaging—beli emas secara bertahap dalam jumlah kecil, agar tidak terlalu terpukul jika harga sedang turun. Alternatifnya, kombinasikan emas dengan instrumen lain seperti reksadana, saham, atau bahkan properti.
Bijak Pilih, Bijak Bertindak
Perlu disadari, fenomena FOMO emas ini juga menyiratkan bahwa masih ada celah dalam literasi keuangan masyarakat. Banyak yang belum paham bahwa investasi harus direncanakan, bukan ditiru. Banyak juga yang belum mengenal alternatif selain emas.
Padahal, dunia investasi itu luas. Untuk yang berani ambil risiko, saham bisa jadi pilihan menarik. Yang ingin lebih aman bisa mencoba reksadana pasar uang atau obligasi.
Properti bisa jadi sumber penghasilan pasif. Bahkan kripto pun bisa dilirik, asal siap dengan risiko ekstremnya. Intinya, jangan hanya tergiur kilau emas. Lihat juga logika di baliknya.
Penutup
Emas tetap jadi instrumen investasi yang kuat, apalagi dalam situasi global yang serba tak pasti. Tapi bukan berarti harus buru-buru beli hanya karena ramai.
Kilau emas memang menggoda, tapi logika tetap harus jadi panglima. FOMO bisa bikin kita ikut-ikutan, tapi jangan sampai keputusan finansial kita justru membawa kita ke jebakan harga.
Bijaklah memilih.
Dan jangan lupa, tujuan investasi bukan sekadar ikut tren, tapi meraih ketenangan dan kesejahteraan di masa depan.