insanimedia.id -Pernyataan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam pengukuhan IKA PB PMII yang menyebut, “kalau tidak tumbuh dari bawah, itu bukan PMII, itu HMI”, adalah bentuk penghinaan terbuka terhadap sejarah gerakan mahasiswa Islam Indonesia, sekaligus pamer ketidaktahuan yang dibalut arogansi kekuasaan.
Lebih menyedihkan, pernyataan ngawur ini justru disambut dengan gelak tawa keras dari para hadirin, suatu tawa yang memalukan, bukan mencerdaskan. Tawa yang menandakan kegagalan berpikir dan matinya nalar sejarah.
Mari kita mulai dari fakta dasar yang tak bisa dibantah: Ketua Umum pertama PMII, Mahbub Djunaidi, adalah kader HMI. Mahbub Menjadi ketua umum PMII adalah mahasiswa Nahdliyin yang aktif di HMI sebelum kemudian mendirikan PMII pada 17 April 1960, bukan karena permusuhan, tapi karena kebutuhan representasi nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Artinya, PMII lahir dari rahim HMI. Menyebut HMI sebagai sesuatu yang “bukan dari bawah” adalah penghinaan telanjang terhadap ibu kandung dari PMII sendiri.
Justru hari ini, pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah PMII benar-benar masih “tumbuh dari bawah”? Atau justru lebih sering dikendalikan dari atas oleh elit politik dan para alumni yang menjadikan organisasi ini sebagai tangga karier? Ironisnya, di tubuh PMII sendiri, kader yang kerja keras dari bawah, yang berproses dengan susah payah di komisariat dan rayon, justru sering kali dipinggirkan.
Yang cepat naik justru mereka yang punya gelar “Cak” atau “Gus” seolah status sosial warisan lebih penting daripada kualitas kaderisasi. Di PMII hari ini, gelar bisa jadi lebih sakral dari gagasan.
Sementara itu, di HMI, semua kader sama dalam berproses. Tidak peduli siapa orang tuanya, berasal dari pesantren atau bukan, punya gelar kehormatan atau tidak yang dinilai adalah komitmen, pemikiran, dan integritas. Inilah yang menjaga semangat egaliter dalam tubuh HMI, dan membuat proses kaderisasi tetap sehat dan terbuka bagi siapa pun yang bersedia berjuang secara intelektual.
Cak Imin adalah simbol dari jebakan itu. Seorang alumni yang tidak merawat nilai, tapi terus menjual PMII untuk kepentingan elektoral. Ia adalah bagian dari gelombang politisi yang menggunakan identitas PMII sebagai stempel politik, bukan sebagai ruang kaderisasi kritis. Lalu, dengan tanpa malu, ia berdiri di podium dan menyudutkan organisasi lain padahal tanpa HMI, tak akan pernah ada PMII.
Lebih parah lagi, Cak Imin tahu bahwa kader PMII di berbagai kampus sering menjual narasi: “Kalau NU, harus masuk PMII.” Seolah-olah keislaman, ke-NU-an, dan semangat intelektual hanya bisa diasuh di bawah satu bendera. Ini adalah narasi yang manipulatif, dangkal, dan menjebak.
NU bukan milik PMII. PMII memang berbasis NU, tetapi NU jauh lebih luas dari sekadar satu organisasi mahasiswa. Ada kader NU di HMI, KAMMI, GMNI, IMM, bahkan di luar negeri dalam berbagai forum internasional.
Mendoktrin bahwa anak NU hanya boleh masuk PMII adalah bentuk penyesatan kaderisasi. Itu cara berpikir sektarian yang membunuh semangat kolaborasi dan solidaritas lintas organisasi.
Justru Mahbub Djunaidi, tokoh NU sejati, lahir dari rahim HMI, dan kemudian mendirikan PMII dengan semangat terbuka, bukan eksklusif. Ia berpikir inklusif, bukan sektarian. Tapi hari ini, semangat itu hilang. Digantikan oleh fanatisme buta yang terus-menerus digemakan oleh alumni politisi seperti Cak Imin.
Yang lebih mengkhawatirkan, narasi “NU harus masuk PMII” kerap disebarkan bukan untuk menguatkan kaderisasi, tapi untuk menjaring massa secara instan. Tidak peduli apakah mahasiswa itu siap dikader atau tidak, yang penting masuk dulu, lalu dijadikan angka untuk klaim pengaruh politik. Inilah yang membuat kaderisasi menjadi dangkal, asal-asalan, dan tanpa proses ideologis yang sungguh-sungguh.
Di sisi lain, organisasi seperti HMI tetap berdiri dengan keberagamannya. HMI tidak pernah mendoktrin bahwa “semua muslim harus HMI”, tapi terbukti bisa melahirkan tokoh besar dari berbagai latar belakang. Inilah yang membuat HMI tetap menjadi organisasi terbuka, dinamis, dan relevan lintas zaman.
Lantas, bagaimana bisa seseorang seperti Cak Imin berbicara tentang siapa yang “tumbuh dari bawah,” ketika ia sendiri adalah simbol dari sistem yang justru menghargai garis keturunan lebih dari kualitas pemikiran?
Pernyataan seperti itu tidak bisa dianggap guyonan. Ia adalah alat propaganda sektarian yang memecah belah sesama mahasiswa Islam. Saat bangsa ini butuh kolaborasi pemuda lintas identitas, justru yang ditawarkan adalah olok-olok murahan yang memancing tawa dangkal dari kader yang kehilangan daya kritis. Bukan HMI yang harus disindir. Tapi elite-elite politik itu yang harus dikoreksi termasuk Cak Imin.
Mahasiswa Islam tidak boleh diam. Ini bukan sekadar tentang PMII atau HMI. Ini tentang melawan pemiskinan intelektual dan politisasi gerakan mahasiswa. Kita sedang menghadapi tantangan besar: kemiskinan struktural, ketimpangan, hilangnya ruang kebebasan akademik, dan ancaman lingkungan hidup. Namun, alih-alih memimpin gerakan perubahan, para alumni malah sibuk jual beli narasi identitas dan menertawakan organisasi lain.
PMII tidak boleh menjadi alat kekuasaan. NU bukan milik satu organisasi mahasiswa. HMI bukan musuh. Dan Cak Imin bukan siapa-siapa dalam penentuan siapa yang benar-benar tumbuh dari bawah.
Pernyataan ini harus dilawan. Harus dikritik terbuka. Dan yang paling penting: kader muda, baik di PMII maupun HMI, harus berhenti jadi pengikut fanatik elite tua yang hanya tahu berpolitik tapi lupa berpikir.
(Semua Bentuk Tulisan dan Isinya Tanggungjawab Penulis)



