HMI Blitar Kritik Drama Kolosal Perjuangan PETA yang Munculkan Nuansa Roman Tidak Mendidik

Pertunjukan Drama Kolosal Perlawanan PETA yang Digelar Pemerintah Kota Blitar pada 2025

Blitar, insanimedia.id – Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Blitar mengkritik pertunjukan Perlawanan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang digelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Blitar, Sabtu (14/02/2025).

Pemerintah Kota Blitar Rutin menampilkan drama kolosal di Museum PETA Jalan Sudanco Supriyadi Kota Blitar setiap 14 Februari.

Formateur Ketua HMI Cabang Blitar, Qithfirul Aziz mengatakan, seharusnya dalam drama kolosal Perjuangan PETA yang dipimpin Sudanco Supriyadi ini menampilkan sisi heroik -nya.

Menurutnya, hal yang menjadi catatan penting adalah sisi heroik dan perjuangan laskar PETA. Perjuangan inilah yang seharusnya digunakan untuk masyarakat lebih mengenal Supriyadi.

Menurutnya, banyak cerita yang seharusnya  dapat diangkat, seperti sisi magis perjuangan, sisi keberanian, sisi religius dan masa pendidikannya.

Selain itu adanya momentum ketika Sudanco Supriyadi berpamitan dengan kekasih ini lebih diprioritaskan dari pada berpamitan dengan sang ibu.

Formateur Ketua HMI Cabang Blitar, Qithfirul Aziz
Formateur Ketua HMI Cabang Blitar, Qithfirul Aziz

“Justru ini dapat memantik hasrat / menjadikan standar pengorbanan baru bagi anak muda,” tegasnya.

Bagaimanapun Supriyadi adalah tokoh besar, yang mana itu bisa menjadi patokan dan tolak ukur bagi masyarakat, khususnya warga Blitar.

Dalam pertunjukkan Sabtu 14 Februari 2025 menujukan cerita pamitan itu Sudanco Supriyadi. Dalam drama kolosal PETA 2025 ini juga menampilkan Supriyadi yang tengah berdansa dengan kekasihnya. Pasca berdansa bersama kekasihnya Supriyadi berpamitan untuk melawan Jepang.

Sang “kekasih Supriyadi” mengenakan pakaian ala-ala noni Belanda tidak menghendaki Supriyadi melawan kekuasaan Jepang.

“Bukankah ini juga menjadi sebuah pertanyaan mungkinkah pacar Supriyadi ini mata-mata penjajah? Bukankah terlihat bagaimana kelemahan seorang pejuang adalah sang perempuan pada drama tersebut,” ungkap Azis.

Padahal saat menyaksikan langsung drama kolosal ini, Ia berharap adanya muatan doktrin nasionalis yang lebih kuat.

Mengingat sosok Supriyadi ini mulai dilupakan dan banyak yang belum tau apa saja sisi heroik yang telah diperjuangkan pada masa perlawanan.

Apalagi niat untuk menggelar pertunjukan kolosal ini bertepatan dengan budaya luar negeri dengan Valentine Day (kasih sayang).

Harapnya warga Blitar tidak menyerap budaya luar yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial di Indonesia.

“Kalau dengan drama kolosal yang memiliki unsur romance hingga larut malam dikhawatirkan justru akan memberikan stimulus pikiran bagi para pasangan belum menikah yang menonton, bagaimanapun hal ini pasti bisa berdampak,” tegasnya.