HMI dan Tantangan Radikalisme: Upaya Moderasi Islam di Kalangan Masyarakat

Penulis : Mohamad Isyammudin, S.H Kader HmI Cabang Ciputat

insanimedia.id – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kader memiliki posisi strategis dalam menjawab tantangan radikalisme yang kian menguat di tengah masyarakat. Sebagai wadah pembinaan intelektual dan spiritual mahasiswa, HMI sejak awal berdiri telah menempatkan Islam sebagai agama kemajuan dan peradaban, bukan sebagai alat politik atau ideologi kekerasan. Dalam konteks ini, HMI memainkan peran penting dalam menyuarakan Islam yang moderat, terbuka, dan inklusif.

Radikalisme kerap tumbuh dari pemahaman agama yang rigid serta narasi-narasi eksklusif yang memecah belah umat. Banyak pihak, termasuk generasi muda, mudah terpengaruh oleh ideologi ini karena minimnya literasi keislaman dan kebangsaan. Di sinilah HMI hadir dengan prinsip dasarnya yang menggabungkan nilai keislaman dan keindonesiaan. Dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), HMI menegaskan bahwa tujuan perjuangan bukan sekadar politik kekuasaan, melainkan pembebasan manusia secara utuh—spiritual, intelektual, dan sosial.

Nurcholish Madjid, tokoh besar dan alumni HMI, dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban, menekankan pentingnya pembaruan pemikiran Islam (tajdid) sebagai jalan keluar dari kejumudan dan radikalisme. Ia menyuarakan gagasan “Islam yes, partai Islam no” sebagai bentuk kritik terhadap politisasi agama dan dorongan menuju Islam yang rasional dan terbuka (Madjid, 1992, hlm. 299). Gagasan ini menjadi inspirasi penting dalam gerakan intelektual HMI hingga kini.

Ahmad Wahib, melalui Pergolakan Pemikiran Islam, secara tegas mengkritik fanatisme keagamaan. Ia menulis: “Fanatisme membunuh kreativitas dan kemajuan umat. Islam harus terbuka terhadap perbedaan dan perubahan zaman” (Wahib, 1981, hlm. 44). Catatan harian Wahib menjadi refleksi penting bagi generasi HMI dalam membangun Islam yang menghargai pluralitas dan toleransi.

Selain itu, M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an menekankan pentingnya pendekatan sosial-humanistik dalam memahami Islam. Ia mengingatkan bahwa Islam seharusnya menjadi kekuatan pembebas bagi mereka yang tertindas, bukan alat pembenaran kekerasan (Rahardjo, 1996, hlm. 127). Perspektif ini sejalan dengan nilai perjuangan HMI dalam membela keadilan dan kemanusiaan.

HMI secara nyata telah merespons tantangan radikalisme dengan berbagai pendekatan. Lewat Latihan Kader (LK), diskusi publik, hingga kerja-kerja sosial, HMI berupaya menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Pendidikan kritis menjadi instrumen penting untuk membangun kesadaran bahwa radikalisme tidak hanya bertentangan dengan Islam, tetapi juga membahayakan persatuan bangsa.

Sebagai organisasi yang telah melahirkan banyak tokoh nasional, HMI tidak hanya berkewajiban menjaga idealismenya, tetapi juga memperluas pengaruh moderasi Islam sebagai kontribusi nyata bagi peradaban bangsa yang damai, adil, dan manusiawi.