Blitar, insanimedia.id – Di berbagai pelosok Nusantara, menjulang gagah pohon beringin (Ficus benjamina) dengan akar sulurnya yang menjuntai bagai tirai alami.
Keberadaannya seringkali diwarnai dengan aura mistis dan cerita-cerita angker yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Tak jarang, pohon rindang ini dianggap sebagai hunian bagi makhluk halus, tempat bersemayamnya roh leluhur, atau bahkan gerbang menuju dimensi lain.
Namun, di balik kesan menakutkan itu, justru tersimpan sebuah paradoks yang menarik: keangkeran pohon beringin secara tak langsung telah menjadi perisai pelindung, menjaga keberadaannya dari tebasan kapak dan deru mesin penebang.
Ketakutan dan rasa hormat yang timbul akibat cerita-cerita mistis telah menciptakan sebuah tabu budaya untuk menebang pohon beringin sembarangan.
Masyarakat setempat, yang tumbuh besar dengan narasi-narasi tersebut, cenderung enggan untuk mengusik keberadaan pohon yang dianggap keramat ini.
Mereka percaya bahwa tindakan menebang atau merusak pohon beringin dapat mendatangkan malapetaka, kesialan, bahkan penyakit bagi diri sendiri maupun keluarga.
Kepercayaan ini, meskipun berakar pada mitos dan tradisi lisan, memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pelestarian lingkungan.
Pohon beringin, dengan kanopinya yang lebar dan sistem perakaran yang kuat, memiliki peran ekologis yang vital.
Ia mampu menahan erosi tanah, menjaga ketersediaan air tanah, menyediakan tempat berlindung dan sumber makanan bagi berbagai jenis satwa liar, serta berkontribusi dalam menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida.
Bayangkan jika tidak ada rasa takut atau hormat yang melingkupi pohon beringin. Dengan nilai ekonomis kayu yang relatif rendah, pohon raksasa ini mungkin akan menjadi target empuk bagi penebangan liar demi pembukaan lahan untuk pertanian, pembangunan, atau sekadar diambil kayunya.
Namun, berkat aura mistis yang melekat padanya, pohon beringin seringkali dibiarkan berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perubahan zaman dan penjaga keseimbangan ekosistem di sekitarnya.
Fenomena “keangkeran yang melindungi” ini bukanlah hal yang unik. Di berbagai budaya di seluruh dunia, praktik-praktik kepercayaan tradisional seringkali memiliki implikasi konservasi yang tidak disadari.
Tempat-tempat suci, hutan larangan, atau spesies hewan dan tumbuhan tertentu yang dianggap keramat seringkali terlindungi dari eksploitasi berlebihan karena adanya nilai-nilai spiritual dan konsekuensi sosial yang mengikutinya.
Tentu saja, mengandalkan ketakutan dan mitos semata bukanlah solusi ideal untuk pelestarian lingkungan jangka panjang.
Pendidikan lingkungan yang komprehensif dan penegakan hukum yang tegas tetap menjadi pilar utama dalam upaya menjaga kelestarian alam.
Namun, kisah pohon beringin yang “angker” ini memberikan kita pelajaran berharga tentang bagaimana nilai-nilai budaya, bahkan yang berbau mistis sekalipun, dapat memainkan peran yang tak terduga dalam melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga keasrian lingkungan.
Ke depan, penting bagi kita untuk memahami dan menghargai kearifan lokal yang tersembunyi dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat.
Alih-alih menolak mentah-mentah cerita-cerita angker tentang pohon beringin, mungkin kita bisa melihatnya sebagai sebuah mekanisme konservasi tradisional yang telah teruji oleh waktu.
Dengan mengkombinasikan pengetahuan ilmiah modern dengan kearifan lokal yang ada, kita dapat menemukan solusi pelestarian lingkungan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Pohon beringin yang dianggap angker, pada akhirnya, adalah simbol betapa rumit dan menariknya hubungan antara manusia, budaya, dan alam.
Ia adalah penjaga keasrian yang tak sengaja, namun dampaknya sangat nyata bagi keberlangsungan hidup di bumi ini.