insanimedia.id , – Ada satu pertanyaan yang akhir-akhir ini sering saya renungkan: “Apa jadinya perguruan tinggi kita 10 tahun mendatang, saat kecerdasan buatan (AI) sudah lebih pintar dari sebagian besar mahasiswa (dan dosennya)?”
Bahkan pertanyaan itu jika ditanyakan saat ini sebetulnya sudah terlambat. Karena perkembangan kecerdaan buatan (AI) saat ini sudah sangat cepat dan sangat canggih, mengancam keberadaan kecerdasan manusia pada umumnya.
Pertanyaan dan pernyataan itu bukan untuk menakut-nakuti. Tapi untuk membangunkan kita dari terlena tidur panjang. Kita harus terbangun dari tidur dan menyadari bahwa dunia sudah berubah. Sangat cepat. Dan kampus kita, seperti biasa, belum tentu ikut berubah. Atau sangat sulit berubah.
AI Tidak Menunggu Kita
Kita tahu sekarang mahasiswa bisa menulis makalah dalam hitungan menit. Tinggal tanya ke AI. Bahkan mereka bisa membuat skripsi, proposal, dan bahan presentasi dengan bantuan robot pintar.
Sebagian dosen marah. Sebagian lagi pura-pura tidak tahu. Tapi segelintir dosen justru berpikir: Mengapa tidak kita manfaatkan? Dan, saya memilih kelompok yang terakhir itu. Memilih mengijinkan den mengajak berkolaborasi dengan mesin kecerdasan buatan untuk mempercepat lompatan kecerdasan manusia melebihi periodenya.
Kampus Harus Segera Memutuskan
Dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, kampus akan punya dua pilihan: Pertama; ikut berubah dan menjadi pusat inovasi, atau Kedua; tetap seperti sekarang dan pelan-pelan ditinggal zaman.
Kampus yang hanya mengandalkan kuliah tatap muka dan kurikulum kaku akan sulit bersaing dengan platform pembelajaran daring yang interaktif, murah, dan global. Padahal Kampus di masa depan tidak lagi dibatasi oleh pagar atau gedung. Seseorang bisa saja tercatat sebagai mahasiswa di kampus A di dalam negeri, tetapi dalam kurun yang sama dia juga bisa teregistrasi di kampus lain di luar negeri.
Sebagai pengelola Pendidikan Tinggi, dan juga buat para dosen, kita harus segera menyusun ulang: (1). Apa yang kita ajarkan; (2). Bagaimana cara kita mengajar, dan (3). Untuk siapa kita mendidik.
Revolusi Tidak Butuh Izin
Kurikulum lama tidak bisa menjawab dunia kerja baru. Banyak mata kuliah yang hanya mengulang dari buku teks, tidak memberi bekal untuk menghadapi realitas digital. Bahkan kritik ini sudah sangat lama diteriakkan oleh dunia kerja dan industri, yaitu bahwa kompetensi yang dibutuhkan oleh industri tidak sama dengan yang diajarkan di kampus.
Sementara itu AI? Ia tidak butuh gelar. Tapi mahasiswa kita masih diajar untuk mengejar IPK dan gelar. Ironi. Sangat ironi. Mungkin kita harus mulai mengubah pertanyaan: Dari pertanyaan “Lulusan ini dapat gelar apa?” menjadi pertanyaan “Lulusan ini bisa berkontribusi apa?”
Roadmap: Jangan Asal Digitalisasi
Dalam tulisan ini, saya tidak bicara sekadar mengganti papan tulis dengan layar LCD. Atau mengganti absensi kertas dengan fingerprint. Itu kosmetik. Bukan transformasi. Yang saya bicarakan dalam tulisan ini adalah perlunya transformasi Pendidikan secara menyeluruh.
Transformasi berarti: (1). Dosen belajar teknologi, bukan hanya mahasiswa. (2). Kampus membuat pusat riset AI sendiri. (3). Kurikulum dirancang ulang, bukan sekadar direvisi. (4). Mahasiswa belajar dari proyek nyata, bukan hanya ujian pilihan ganda.
Dan yang paling penting: Kampus harus bicara tentang etika AI. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang bicara tentang moral di tengah dunia yang makin dikendalikan algoritma?
Masa Depan Butuh Lulusan yang Adaptif dan Etis
Mesin bisa menghafal. Bisa menganalisis. Tapi tidak bisa punya empati. Tidak bisa memberi nasihat moral. Karena memberi nasihat moral itu tugas manusia. Dan itu seharusnya jadi tugas utama pendidikan.
Kita butuh lulusan yang: (1). Bisa berpikir kritis, (2). Punya kreativitas yang tidak bisa ditiru robot, dan (3). Tahu kapan harus menggunakan AI dan kapan harus menggunakan hati.
Penutup: Jangan Terlambat Lagi
Kampus kita pernah terlambat menghadapi internet. Terlambat menghadapi industri 4.0. Sekarang, AI datang dengan kecepatan yang lebih tinggi. Kita tidak bisa lagi lambat.
Kalau kampus tidak berubah, mungkin nanti yang memberi kuliah adalah robot. Dan yang menjadi mahasiswanya… manusia-manusia yang hanya ingin gelar.
Tapi jika kampus bisa berubah, maka Indonesia bisa punya peran penting di dunia baru ini. Dunia yang dikendalikan data, dipandu etika, dan digerakkan oleh kecerdasan, baik buatan maupun manusiawi.