Ketika Akhlāqul Karīmah Hilang dari Kepemimpinan Publik

Oleh: Ulul Albab Ketua ICMI Jawa Timu

Ulul Albab Ketua ICMI Orda Jawa Timur

insanimedia.id –  Gelombang demonstrasi yang melanda negeri kita akhir-akhir ini seakan menjadi cermin besar yang memperlihatkan luka sosial bangsa. Demonstrasi yang sejatinya lahir dari aspirasi mulia—menyuarakan keresahan rakyat—ternodai oleh aksi anarkis, penjarahan, dan perusakan. Salah satu pemicunya adalah sikap sebagian pejabat publik yang kurang mampu menjaga ucapan. Alih-alih menyejukkan hati, pernyataan mereka justru menyakitkan dan merendahkan rakyat.

Sebelum demo besar ini terjadi, media sosial kita selama ini diramaikan oleh cuplikan pernyataan sejumlah pejabat yang seolah menantang rakyat, merendahkan martabat rakyat, bahkan mentolol-tololkan rakyat yang sedang berjuang menyampaikan aspirasi. Padahal, suara rakyat mestinya menjadi cermin dan pengingat agar pejabat publik berbenah diri, tampil lebih berwibawa, dan berempati. Dari situasi ini, wajar jika berkembang narasi publik bahwa bangsa ini salah memilih pemimpin—khususnya wakil-wakil rakyat di parlemen.

Presiden pun tak luput dari kritik. Rakyat menilai presiden salah memilih sebagian menteri. Mereka yang diangkat ternyata tidak memiliki logika kebangsaan sebagaimana harapan rakyat, yaitu pejabat publik adalah pelayan rakyat. Tidak mengherankan jika akhirnya muncul kesimpulan keras bahwa rakyat juga salah memilih paket kepemimpinan nasional. Sebagian bahkan melabeli presiden dengan sebutan-sebutan yang merendahkan, mulai dari “boneka” hingga “tidak tegas.”

Narasi publik seperti ini akan terus berkembang dan menemukan pembenarannya, terlebih ketika perjalanan pemerintahan semakin terbukti kurang berpihak kepada rakyat kecil, sebaliknya lebih memanjakan elit di sekitar kekuasaan. Contohnya, kenaikan tunjangan dan fasilitas untuk pejabat yang disertai ekspresi kegirangan di ruang publik, atau pengumuman penghargaan bagi tokoh-tokoh yang justru dianggap tidak layak oleh rakyat.

Semua itu menumbuhkan keprihatinan yang lambat laun berubah menjadi kemarahan demokratis. Demonstrasi mahasiswa dan elemen rakyat sesungguhnya merupakan ruang terbuka agar birokrasi segera berbenah. Teriakan “bubarkan DPR” ibarat penawaran harga tinggi dari seorang penjual—yang dimaksud bukanlah harga itu sendiri, melainkan pesan keras bahwa ada sesuatu yang salah dan harus diperbaiki. Sayangnya, pesan semacam ini tidak dipahami oleh elit, terutama para wakil rakyat di parlemen.

Baca Juga :  Tunjangan DPR 2025: Fakta, Klarifikasi, dan Kemarahan Publik

Pejabat yang Merasa Dirinya adalah Negara

Inilah krisis akhlāqul karīmah yang nyata: pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun aparat keamanan, sering tampil dengan ego berlebihan, seolah-olah merekalah negara itu sendiri. Ucapan mereka bukan lagi kata-kata yang menenteramkan, tetapi justru menambah luka, memperlebar jarak, bahkan memicu kemarahan.

Padahal Rasulullah SAW mencontohkan kepemimpinan yang penuh empati dan kelembutan. Beliau bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; kalian mendoakan mereka, dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim). Kepemimpinan yang berakhlak adalah kepemimpinan yang dekat dengan rakyat, bukan yang meninggikan diri di hadapan rakyat.

Aparat keamanan pun sejatinya hadir sebagai pelindung dan pengayom. Tugas mereka adalah menjaga keselamatan rakyat, bukan mencari-cari kesalahan rakyat. Sayangnya, cara-cara represif yang sering kita saksikan justru menimbulkan korban jiwa dan merusak kepercayaan publik.

Akhlak dalam Menyuarakan Aspirasi

Namun refleksi ini tidak berhenti pada pejabat publik saja. Rakyat pun dituntut menjaga akhlak dalam menyampaikan aspirasi. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang merusak.

Demonstrasi adalah hak demokratis, tetapi ketika berubah menjadi anarki, merusak fasilitas umum, atau bahkan menelan korban yang tidak bersalah, maka hilanglah nilai mulia dari perjuangan itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi, selalu ada oknum-oknum yang menyusup, menunggangi momentum aspirasi rakyat untuk kepentingan gelap. Mereka inilah yang mengubah demonstrasi menjadi kerusuhan.

Refleksi Bersama

Bangsa ini harus jujur bercermin:

Pejabat publik wajib kembali kepada akhlāqul karīmah—berbahasa santun, berempati kepada rakyat, dan rendah hati dalam memimpin. Jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa.

Aparat keamanan perlu mengingat bahwa mereka adalah pelindung rakyat, bukan penguasa rakyat. Tugas mereka adalah mengamankan, bukan menakut-nakuti.

Baca Juga :  Karbala dalam Cahaya Ahlus Sunnah: Seri Refleksi Muharram

Rakyat harus menjaga akhlak dalam menyampaikan aspirasi. Suara yang damai akan lebih bermakna daripada kemarahan yang merusak.

Kita semua perlu waspada terhadap provokator dan penunggang gelap yang berusaha memperkeruh keadaan.

Penutup

Sesungguhnya krisis yang kita hadapi adalah krisis akhlak. Ketika akhlāqul karīmah hilang dari pejabat, aparat, bahkan rakyat, maka yang lahir adalah ketegangan, ketidakpercayaan, dan kerusuhan. Rasulullah SAW mengingatkan: “Tidaklah sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang mulia.” (HR. Tirmidzi).

Maka, marilah kita jadikan momentum ini sebagai refleksi nasional untuk mengembalikan akhlāqul karīmah sebagai fondasi kepemimpinan dan kehidupan berbangsa. Tanpa akhlak, sebesar apa pun sebuah negara akan rapuh. Dengan akhlak, insyaAllah bangsa ini akan kembali kokoh dan bermartabat.