Ketika Gen-Z Sudah Akrab Dengan AI: Masih Perlukan Mereka Kuliah?

Oleh: Ulul Albab Pemerhati Transformasi Pendidikan Tinggi di Era AI Ketua ICMI Jawa Timur

Ulul Albab Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

Di tengah hiruk pikuk AI dan startup, banyak anak muda mulai ragu: “Masih perlukah kuliah?” Jawaban saya: masih sangat perlu. Asal di tempat yang tepat. Di kampus yang mampu menyelaraskan ilmu, nilai, dan tantangan zaman.

Saat ini kita memang butuh kampus yang tak hanya sibuk mencetak sarjana, tapi kampus yang konsisten merawat akal dan karakter. Bukan kampus yang memudahkan mahasiswa mendapat ijazah, tapi yang menghadirkan relevansi dan masa depan mahasiswa. Dan itu hanya mungkin bila kampus mampu beradaptasi secara menyeluruh, dari jurusan hingga jejaring.

Dari Ilmu Sosial hingga Teknologi: Semua Harus Relevan

Kampus yang relevan bukan yang hanya punya satu atau dua jurusan unggulan. Karena yang dibutuhkan hari ini adalah spektrum keilmuan yang saling menopang. Misalnya, jurusan Administrasi Publik dan Administrasi Bisnis saat ini tak bisa lagi hanya bicara birokrasi atau manajemen klasik. Mahasiswa jurusan ini harus diajak berpikir tentang tata kelola berbasis data, pelayanan digital, dan strategi komunikasi publik yang humanis.

Jurusan Manajemen dan Akuntansi juga tak bisa lagi tinggal di zona nyaman. Saat ini pasar kerja sudah menuntut pemahaman pada digital finance, e-commerce, dan audit berbasis sistem. Mahasiswa jurusan ini tak cukup hanya bisa menghitung neraca, tetapi mereka harus bisa membaca data, mengelola risiko, dan paham etika bisnis.

Hukum, Pendidikan, dan Komunikasi: Untuk Perubahan Sosial

Jurusan Ilmu Hukum tak bisa lagi kaku dengan teks undang-undang. Hukum masa kini harus bisa menjawab masalah-masalah kontemporer: dari perlindungan data pribadi, hingga hukum siber dan kebebasan berpendapat.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pun tak bisa mengajar dengan metode lama. Calon guru harus diajak berlatih jadi fasilitator, bukan hanya sebagai pengajar. Di era digital, guru tak boleh kalah dari YouTube atau ChatGPT. Mereka harus lebih kreatif, lebih empatik, dan lebih relevan.

Sementara itu, jurusan jurnalistik dan public relations menjadi garda terdepan dalam menjaga akal sehat publik. Di tengah tsunami hoaks, lulusan komunikasi harus punya dua senjata utama: etika dan narasi. Tak cukup pandai menulis atau membuat konten. Harus bisa merawat kepercayaan publik.

Dunia Pertanian, Perikanan, dan Teknik Tak Boleh Ketinggalan

Era AI bukan cuma tentang komputer. Teknik Sipil dan Teknik Informatika kini harus berkolaborasi. Membangun kota pintar, merancang infrastruktur berbasis sensor, hingga mengelola big data tata ruang. Begitu juga pertanian dan perikanan, tak boleh lagi dikelola dengan pendekatan konvensional. Kini, generasi muda bisa jadi petani digital atau ahli kelautan berbasis drone dan sistem prediksi cuaca.

Ilmu bukan barang yang statis dan mati. Ilmu harus hidup, bergerak, dan menyatu dengan kebutuhan zaman. Bahkan jurusan kesehatan kini membutuhkan pendekatan interdisipliner. Mahasiswa kesehatan dituntut paham teknologi, komunikasi risiko, dan pendekatan berbasis komunitas.

Relevansi adalah Kata Kunci Pendidikan Tinggi

Kampus yang bisa menggabungkan ilmu sosial, eksakta, teknologi, dan nilai secara harmonis dan indah, adalah kampus yang akan bertahan dan dibutuhkan. Kampus yang membiarkan dosen dan mahasiswanya tumbuh, berinovasi, dan menjalin kolaborasi dengan dunia nyata, akan menjadi kampus yang luar biasa.

Anak muda generasi Z tak hanya butuh tempat belajar. Mereka butuh ruang tumbuh. Mereka butuh tempat di mana mereka tak hanya diajari, tapi juga diberdayakan.

Jadi, menjawab pertanyaan: “Ketika Gen-Z Sudah Akrab Dengan AI, Masih Perlukan Mereka Kuliah?” jawabnya adalah bahwa Kuliah itu masih penting. Sangat penting. Tapi kuliah di tempat yang tak adaptif dan tak relevan, itu baru yang perlu dipertanyakan. Maka, pilihlah kampus yang punya visi ke depan, jurusan yang hidup, dan ekosistem yang sehat. Di sanalah masa depan dibentuk.