Ketika Pejabat Asal “Jeplak”

Oleh Ulul Albab Ketua ICMI Jawa Timur

insanimedia.id – Video itu pendek. Tapi dampaknya panjang. Seorang anggota DPRD Gorontalo, WM, duduk di dalam mobil bersama seorang perempuan. Senyum, candaan, lalu kalimat yang ia ujarkan di mobil itu langsung meledak di jagat maya: “Kita rampok saja uang negara. Kita habiskan biar negara makin miskin.”

Selesai?. Tidak. Potongan video itu lalu berpindah dari WhatsApp ke TikTok, dari TikTok ke Instagram, lalu mendarat di layar-layar gawai seluruh Indonesia. Viral. Kecaman dan amarah publik di medsos turut menambah viral video tersebut.

Wakil rakyat yang seharusnya menjaga marwah lembaga malah bicara seolah-olah merampok uang negara adalah hal yang biasa. Apalagi dengan gaya santai, sambil setir mobil dan bercanda haha hihi bersama teman wanitanya.

Partainya, PDIP, langsung ambil sikap. Tidak pakai lama, WM dipecat. Badan Kehormatan DPRD Gorontalo ikut bergerak, memanggil, menyelidiki. Ada dugaan, saat itu ia mabuk. Ada juga versi bahwa ia hanya bergurau. Dan ia pun buru-buru minta maaf, ditemani istri.

Tapi publik sudah terlanjur mendengar kalimat itu. Dan di era media sosial, sekali video terunggah, ia menjadi abadi.

Apakah WM serius ingin merampok uang negara? Mungkin tidak. Apakah ia hanya bercanda? Bisa jadi. Tapi masalahnya bukan pada niat di hati, melainkan pada kata yang terlanjur keluar di ruang publik.

Sekarang, ruang publik itu bukan lagi hanya gedung sidang atau panggung politik. Ruang publik sekarang ini ada di saku kita masing-masing, yaitu: kamera ponsel dan mikrofon media sosial. Sekali tergelincir kata, sekali lupa menjaga ekspresi, rekamannya bisa jadi bukti sosial yang lebih tajam dari berita resmi.

Inilah tragedi kecil dalam politik lokal yang kemudian jadi tontonan nasional. Ia memperlihatkan betapa tipis batas antara “gurauan” dan “penghancur reputasi.”

Baca Juga :  Kalau Hakim Bisa Disuap, Apa Kabar Masa Depan Hukum Kita?

Sementara itu, publik menyimpan luka lama: terlalu sering mendengar cerita soal uang negara yang bocor, anggaran yang tidak sampai ke rakyat, proyek yang hanya jadi bancakan. Maka ketika ada wakil rakyat bicara sembarangan soal “merampok uang negara,” luka itu langsung bernanah.

Di titik ini, kasus WM bisa kita maknai lebih dari sekadar hanya soal video viral. Tetapi cermin bagi semua pejabat publik. Bahwa di zaman ini, kejujuran dan etika tidak cukup ditunjukkan lewat kerja, harus ditunjukkan juga lewat kata. Kata yang sembrono bisa lebih melukai daripada kebijakan yang salah.

Sanksi dari partai dan DPRD mungkin menyelesaikan urusan administratif. Tapi urusan moral lebih rumit. Bagaimana memperbaiki kepercayaan rakyat yang makin tipis? Bagaimana mengajarkan bahwa humor sekalipun punya batas, apalagi bagi pejabat?

Mungkin inilah pelajaran terbesar dari kasus ini: politik bukan hanya soal kursi dan suara, tapi juga soal kesadaran. Kesadaran bahwa publik menonton setiap detik, merekam setiap kata, dan menyimpannya untuk waktu yang lama.

WM bisa saja nanti lenyap dari kursi DPRD lewat mekanisme pergantian antar waktu. Tapi kalimatnya akan tetap beredar sebagai pengingat: betapa rapuhnya kehormatan seorang pejabat di era digital.

Dan kita semua, entah pejabat atau bukan, seharusnya juga belajar. Di zaman ini, mikrofon tidak lagi dipegang wartawan atau pembawa acara. Mikrofon itu ada di genggaman setiap orang. Bedanya, kalau kita salah bicara, mungkin hanya malu di grup WhatsApp komunitas. Tapi kalau wakil rakyat yang salah bicara? Malunya bisa jadi nasional.

Maka, mari kita bijak berbicara, bijak bersikap, bijak bertindak. Agar negeri ini benar-benar menuju masyarakat yang beradab.