insanimedia.id – Video seorang anggota DPRD di Gorontalo yang menyebut akan “menghabiskan uang negara supaya negara miskin” mendadak viral. Potongan kalimat itu, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai gurauan atau lontaran spontan, tetap saja menimbulkan riak besar di ruang publik. Warganet marah, media menyorot, dan citra lembaga legislatif ikut tercoreng.
Fenomena ini mengingatkan kita pada satu hal sederhana namun penting, yaitu: kata-kata seorang pejabat publik itu bukan milik pribadinya semata. Begitu terucap, kata itu melambung membawa nama lembaga, jabatan, bahkan negara. Dan ketika ucapan itu “asal jeplak”, maka rakyat bisa kehilangan rasa hormat, bahkan makin curiga bahwa para wakil rakyat itu tidak mutu, tidak kompeten, tidak peka.
Lidah Lebih Tajam dari Pedang
Dalam budaya kita, lidah sering diibaratkan lebih tajam daripada pedang. Sekali melukai, sulit diobati. Begitu pula dengan ujaran seorang pejabat. Ia bisa menimbulkan luka sosial dan politik yang panjang, bahkan lebih dalam dan menyakitkan dibanding keputusanya yang menyimpang. Apalagi di era digital, setiap kalimat bisa direkam, dipotong, diviralkan, dan disebarkan tanpa batas ruang dan waktu.
Seorang pejabat mestinya menyadari betul risiko itu. Karena Ia tidak hanya berbicara untuk audiens terbatas, tapi untuk rakyat banyak yang punya tafsir, emosi, dan sensitivitas berbeda-beda.
Antara Humor dan Etika
Tidak ada yang salah dengan humor. Pejabat publik pun manusia yang boleh bersenda gurau. Namun garis batasnya harus jelas: jangan sampai candaan berubah menjadi cermin buruk tentang etika kekuasaan. Humor yang menyinggung penderitaan rakyat atau seolah meremehkan persoalan negara akan lebih mudah dibaca sebagai penghinaan ketimbang kelakar. Bahkan bisa mencerminkan kedalaman kebodohan yang selama ini disembunyikan.
Di titik ini, ucapan yang “asal jeplak” justru menjadi bumerang. Niatnya mungkin ingin cair, tetapi hasilnya justru memperkuat stigma bahwa “pejabat” tersebut jauh dari nurani masyarakat.
Gejala Lebih Luas
Kasus di Gorontalo bukanlah yang pertama. Kita masih ingat sejumlah pejabat yang ucapannya salah tempat atau salah waktu, lalu viral di media sosial. Ada yang menyulut amarah, hingga aksi demo besar-besaran dan berseri, ada yang mengundang tawa getir. Fenomena ini memperlihatkan bahwa keterampilan komunikasi publik pejabat belum menjadi kesadaran bersama di kalangan elite politik kita.
Padahal, komunikasi adalah bagian dari kepemimpinan. Komunikasi adalah instrumen yang bisa memperkuat atau melemahkan legitimasi. Dan seorang pejabat publik wajib punya keahlian itu. Sekali lagi “Wajib”.
Saatnya Introspeksi
Dari kasus ini, ada pelajaran penting buat kita semua, bukan hanya buat pejabat yang bersangkutan, bahkan buat para pejabat publik dimanapun berada. Yaitu bahwa kemampuan piawai dalam komunikasi publik wajib dimiliki oleh kita semua, terutama yang berposisi dan berperan sebagai tokoh atau pejabat publik. Bukan sekedar untuk kesuksesan dalam berkomunikasi, tetapi kebutuhan untuk membangun budaya komunikasi yang lebih etis.
Dan tampaknya kita perlu menegaskan kembali bahwa Pendidikan komunikasi publik, latihan mengelola emosi, hingga kesadaran digital harus menjadi bagian dari pembekalan pejabat negara.
Masyarakat kini menuntut pejabat yang tidak hanya piawai dan pandai mengelola anggaran, tetapi juga cakap dan bijak menjaga ucapan. Karena di balik setiap kata, tersimpan makna kepercayaan. Dan begitu kepercayaan publik runtuh, sebaik apa pun program kerja tidak akan cukup untuk memulihkannya.
Ujaran yang asal “jeplak” yang beredar di publik selama ini seharusnya menjadi peringatan keras, bahwa kita butuh pejabat yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga bijak menimbang kata-kata. Sebab, di era ketika publik bisa menonton dan menilai setiap detik ucapan pejabatnya, tanggung jawab moral itu semakin tak terhindarkan.
Bung Hatta pernah mengingatkan: “Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar, kurang cakap bisa dihilangkan dengan pengalaman, tetapi tidak jujur dan tidak beretika sulit diperbaiki.” Karena berkaitan dengan karakter. Dan ketahuilah bahwa Integritas itu salah satunya diwujudkan dengan menjaga kata-kata, sebab dari kata lahir sikap, dan dari sikap lahir kepercayaan.
Dan kita semua, entah pejabat atau bukan, seharusnya juga belajar. Di zaman ini, mikrofon tidak lagi dipegang wartawan atau pembawa acara. Mikrofon itu ada di genggaman setiap orang. Bedanya, kalau kita orang biasa salah bicara, mungkin hanya malu di grup WhatsApp komunitas. Tapi kalau pejabat dan wakil rakyat yang salah bicara? Malunya itu lho bisa ke seluruh Nusantara.
Maka, mari kita bijak berbicara, bijak bersikap, bijak bertindak. Agar negeri ini benar-benar menuju masyarakat yang beradab.