Koalisi Sipil Sesalkan Pengerahan TNI ke Kejaksaan, Ini Tanggapan KRPK ‎

Massa yang tergabung dalam Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) dan Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) menggelar aksi demo di Kantor Kejaksaan Negeri Kota Blitar

Blitar, insanimedia.id – Rencana penempatan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia terus menuai polemik.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan penyesalannya atas terbitnya telegram Panglima TNI tertanggal 5 Mei 2025 yang memerintahkan penyiapan dan pengerahan alat kelengkapan dukungan kepada institusi kejaksaan.

‎Melalui keterangan tertulis, Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa perintah Panglima TNI tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Konstitusi, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang Pertahanan Negara, serta Undang-Undang TNI yang secara eksplisit mengatur tugas dan fungsi pokok militer.

‎”Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil khususnya di wilayah penegakan hukum,” demikian pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil.

‎Menanggapi polemik ini, Ketua Komite Rakyat Pemberantasan Korupsi (KRPK), Triyanto, memberikan pandangannya. Ia menilai bahwa penempatan anggota TNI di Kejati dan Kejari merupakan langkah taktis-konstitusional yang dapat dijustifikasi secara hukum, etika, moral, dan logika strategis kebangsaan.

‎Ia menjelaskan bahwa meskipun secara teknis pengamanan objek vital sipil berada di bawah yurisdiksi Kepolisian dan satuan pengamanan internal, penugasan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) diperbolehkan berdasarkan permintaan otoritas sipil, sebagaimana diatur dalam UU TNI dan UU Kejaksaan.

‎”Penugasan TNI dalam OMSP dilakukan berdasarkan permintaan otoritas sipil (dalam hal ini bisa dari Presiden, Jaksa Agung, atau lembaga negara lainnya) dan diperbolehkan secara hukum nasional, dengan rujukan pada UU TNI dan UU Kejaksaan,” ujarnya pada Kamis (15/05/2025).

‎Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tidak akan terjadi overlapping fungsi jika peran TNI yang ditempatkan bersifat mendukung dan melengkapi, bukan mengambil alih kewenangan penegakan hukum atau peradilan.

‎Ia juga menyinggung konsep total defense (pertahanan semesta) yang dianut Indonesia, di mana pelibatan TNI dalam stabilisasi dan penguatan kelembagaan sipil dalam kondisi tertentu dianggap sah. Ia bahkan menyebut hal ini sejalan dengan prinsip civil-military cooperation yang juga diterapkan di berbagai negara demokratis.

‎”Oleh karena itu, jika pelibatan ini dilakukan melalui prosedur resmi, pengawasan ketat, dan batasan operasional yang jelas, maka tidak ada pelanggaran terhadap supremasi sipil maupun aturan keamanan negara,” tegasnya.

‎Ia juga menilai bahwa penolakan terhadap kebijakan ini secara generalisasi tanpa mempertimbangkan konteks dan urgensinya justru dapat menimbulkan ketimpangan antara idealisme konstitusional dan realitas ketatanegaraan.

‎Ia berpandangan bahwa negara memiliki legitimasi moral untuk melindungi instrumen keadilan ketika mekanisme biasa dianggap tidak lagi memadai.

‎”Ini bukanlah tanda lemahnya demokrasi, melainkan upaya penyelamatan terhadap demokrasi yang sedang dibajak oleh kekuatan anti-reformasi,” pungkasnya.

‎Di postingan kami sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan TNI terkait kebijakan penempatan personel TNI di kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia menyusul sorotan publik terhadap wacana tersebut. (Bim)