Logika HAM dan Legalisasi Umroh Mandiri

Oleh Ulul Albab Ketua Litbang DPP Amphuri

Prof. Ulul Albab Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

insanimedia.id – Bayangkan seorang jamaah berangkat umroh sendirian. Ia harus mengurus tiket internasional, visa, hotel, transportasi, kesehatan, bahkan menghadapi birokrasi di Arab Saudi yang semakin ketat. Semua itu tanpa pendamping resmi, tanpa jaringan, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Ilustrasi “indah” perjalanan umroh mandiri tapi penuh risiko di lapangan.

Inilah yang sedang dibahas di Senayan: pasal “Umroh Mandiri” dalam RUU perubahan UU No. 8 Tahun 2019. Bagi sebagian anggota DPR, katanya ini soal hak asasi manusia warga negara berhak melaksanakan ibadahnya tanpa dibatasi. Tapi, sahabat, kita semua tahu bukan, bahwa: HAM tanpa pagar bisa menjadi ladang subur bagi pihak-pihak yang ingin “menunggangi” niat suci demi kepentingan tertentu, tepatnya “cuan”.

Pertanyaannya adalah: Apakah kebebasan beribadah berarti membiarkan warga negara berjalan sendirian di hutan rimba peraturan internasional, dengan risiko ditipu agen ilegal, gagal berangkat, atau terlantar di negeri orang?

Jangan salah lho. PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh) selama ini bukan sekadar biro perjalanan. Mereka menjalankan fungsi perlindungan, memastikan standar layanan, dan diawasi negara. Upaya melegalkan skema umroh mandiri justru akan menghapus pagar itu. Dan pagar, biasanya baru kita sadari nilai dan fungsinya ketika binatang liar sudah masuk ke pekarangan.

Dari kacamata kebijakan publik, pasal ini pun aneh. Tidak ada policy demand dari masyarakat luas. Tidak ada survei, kajian, atau aspirasi terstruktur yang mendorong “umroh mandiri” ini. Yang ada justru penolakan dari pelaku resmi yang berpengalaman mengurus jamaah. Kalau tidak ada desakan dari publik, lalu muncul di dalam RUU maka layak kalua publik mempertanyakan dari siapa dorongan ini datang? Mungkinkah dari makhluk halus?

Jangan sampai DPR menjadi corong bagi kepentingan tersembunyi yang ingin membuka pasar baru (pasar jamaah umroh) yang dilepas begitu saja, tanpa perlindungan, tanpa pengawasan. Sebuah kebijakan publik yang sehat harusnya lahir dari kebutuhan riil masyarakat, bukan dari keinginan segelintir pihak yang pandai melobi dan bermodal “cuan”.

Baca Juga :  Beli Emas Jangan Asal Pilih: Mana Lebih Untung, Emas Antam atau Emas Perhiasan?

Ibadah itu suci. Dan kesucian itu perlu penjaga. Kalau alasan yang dipakai adalah HAM, mari kita ingat: HAM bukan berarti semua boleh tanpa aturan. Bahkan kebebasan berpendapat pun diatur batasnya. Kebebasan beribadah justru harus dijaga kualitas dan keamanannya.

Kepada para wakil rakyat di Senayan, izinkan saya mengingatkan: Ketika nanti ada jamaah umroh mandiri yang gagal berangkat, atau terlantar di Tanah Suci, atau menjadi korban penipuan, publik tidak akan mencari agen ilegal yang menjadi dalangnya. Mereka akan menunjuk DPR dan pemerintah. Mengapa? karena pasal ini adalah produk tangan Anda. Dan jika waktu itu tiba, maka semua akan terlambat.