Blitar, insanimedia.id , – Setiap 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Namun ironisnya, dari tahun ke tahun, peringatan may day ini biasanya tak hanya ditandai dengan orasi dan poster, tapi dimarnai juga dengan tumpukan keresahan.
Keresahan yang menumpuk. Mengapa? Karena di balik pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi, nasib jutaan buruh semakin dibayangi masalah dan penuh ketidakpastian.
Di Indonesia misalnya, bisa kita baca dari data BPS yang menunjukkan bahwa hingga akhir 2024, masih terdapat lebih dari 58 juta pekerja informal di Indonesia, yang tidak memiliki jaminan kerja, kesehatan, apalagi jaminan masa depan pensiun. Di sektor manufaktur, banyak buruh menghadapi kontrak jangka pendek dan sistem kerja yang rawan eksploitasi. Sementara di era digital, otomatisasi dan AI mulai menggantikan fungsi manusia dalam skala yang tak bisa diabaikan.
Prediksi para ahli menyebut bahwa di tahun-tahun mendatang, jutaan pekerjaan konvensional akan tergantikan oleh mesin. Maka persoalan buruh bis akita baca, bukan hanya soal upah, melainkan juga soal eksistensi manusia sebagai pelaku kerja. Di tengah dunia yang berubah cepat, buruh menghadapi dilema besar, yaitu: bagaimana caranya buruh tetap relevan, dan bagaimana buruh tetap dihormati?
Tulisan ini hadir sebagai ajakan reflektif. Disamping kita memperingati Hari Buruh, kita juga mengajak semua pihak, khususnya umat Islam dan para cendekiawan, untuk merenung ulang tentang hakikat kerja, keadilan sosial, dan tanggung jawab kolektif kita dalam membangun ekosistem kerja yang manusiawi.
Dalam Islam, kerja adalah kehormatan, bukan sekadar sumber nafkah. Bahkan Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil kerja tangannya.”. (HR. Bukhari, no. 2072).
Hadis ini menempatkan betapa terhormat dan mulyanya orang bekerja untuk mencari nafkah untuk menafkahi diri dan keluarganya. Apapun pekerjaan dan profesinya asal halal, maka itu jauh lebih baik daripada meminta-minta.
Di zaman ketika kapitalisme cenderung mengejar laba sebesar-besarnya, narasi seperti ini penting digaungkan ulang. Untuk mengingatkan kita semua tentang makna dan nilai “bekerja”. Islam tak pernah memisahkan antara spiritualitas dan produktivitas. Kerja bukan hanya bagian dari hidup, tetapi bagian dari ibadah.
Pekerja Bukan Sekadar “Tenaga”
Kita sering lupa bahwa di balik pembangunan, teknologi, dan fasilitas modern yang dibangun, ada tangan-tangan buruh. Dari tukang bangunan hingga petugas kebersihan, dari buruh pabrik hingga sopir angkutan. Mereka semua harus dilihat bukan sekadar sebagai “tenaga kerja”, atau “mesin”, tapi mereka harus dilihat sebagai subjek dari peradaban.
Islam bahkan memerintahkan agar pekerja diperlakukan dengan adil dan mulia. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW memperingatkan: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.” (HR. Ibn Majah, no. 2443).
Hadis ini bukan sekedar menunjukkan etika Islam dalam mempekerjakan orang, tetapi juga memberikan pesan kuat tentang prinsip keadilan yang harus diterapkan ketika kita mempekerjakan orang. Sebab bekerja adalah bentuk pengorbanan, dan pengorbanan layak dibalas secara terhormat.
Kita Perlu Ekonomi yang Beradab
Hari Buruh juga seharusnya menjadi momen reflektif tentang: sudahkah sistem ekonomi kita beradab? Refleksi ini penting karena dalam faktanya perlakukan terhadap pekerja seringkali agak mengabaikan kepentingan pekerja. Ada dilemma di sini. Di satu sisi, pekerja dituntuk memenuhi produktivitas tinggi, tapi di sisi lain, kesejahteraan seringkali tertunda atau kurang diperhatikan.
Kita melihat banyak pekerja outsourching yang nasibnya gamang, buruh informal tanpa perlindungan, dan ketimpangan yang terus melebar. Maka, panggilan Islam adalah jelas: tegakkan keadilan sosial, bukan hanya distribusi upah, tapi juga keadilan dalam akses, jaminan, dan martabat.
Maka, mari kita rayakan Hari Buruh bukan hanya dengan libur atau aksi, tapi dengan kesadaran baru: bahwa setiap orang yang bekerja untuk nafkah halal, yang menafkahi keluarga, yang menjaga integritas dalam pekerjaannya, mereka itu sedang beribadah. Mereka bagian dari kekuatan bangsa.
Hari ini kita diingatkan kembali: tak ada peradaban besar tanpa pekerja yang dimuliakan. Maka, tugas kita bersama, yaitu pemimpin, pengusaha, akademisi, dan aktivis, adalah menegakkan ekosistem kerja yang adil, manusiawi, dan penuh keberkahan.