insanimedia.id – Ketika seorang mantan Menteri Pendidikan ditetapkan sebagai tersangka korupsi, rasanya hati ini campur aduk: antara marah, kecewa, tapi tidak terlalu kaget. Marah karena pendidikan adalah jantung peradaban bangsa. Kecewa karena simbol reformasi digital dan generasi muda ternyata ikut terseret dalam pusaran lama: korupsi. Dan tidak kaget—karena inilah Indonesia yang kita kenal.
Ironi ini menyakitkan. Seorang menteri yang dulu dielu-elukan, yang dihadirkan untuk membawa terobosan dalam pendidikan, justru kini harus memakai rompi orange. Program laptop berbasis Chromebook yang awalnya dikampanyekan sebagai alat belajar digital, berubah jadi alat bancakan. Kerugian negara hampir Rp 2 triliun. Jumlah itu bisa membangun ribuan sekolah atau beasiswa bagi ratusan ribu anak. Tapi malah lenyap dalam hitungan angka-angka fiktif.
Dalam perspektif administrasi publik, kasus ini adalah bukti telanjang rapuhnya tata kelola. Birokrasi kita belum mampu mengelola pengadaan barang/jasa dengan transparan dan akuntabel. Setiap pengadaan skala besar selalu berisiko: ruang abu-abu antara harga pasar, spesifikasi teknis, dan permainan politik.
Pengadaan barang adalah “ladang empuk” yang sejak dulu jadi sarang korupsi. Laptop, tas sekolah, bahkan seragam pun bisa jadi ajang mark up. Seolah birokrasi kita sudah terbiasa hidup dengan budaya manipulasi. Maka ketika kasus Chromebook mencuat, publik lebih terhenyak pada “siapa pelakunya” ketimbang “bagaimana modusnya”—karena modusnya sudah terlalu sering terdengar.
Dari kacamata kebijakan publik, kita menyaksikan bagaimana idealisme bisa terjerembab di tahap implementasi. Program Merdeka Belajar awalnya dielu-elukan. Tapi di tangan birokrasi yang lemah integritas, idealisme hanya jadi jargon. Implementasi di lapangan justru jadi ajang bancakan.
Di sinilah letak kegagalan sistemik kita: kebijakan tidak pernah serius dievaluasi. Tidak ada independent policy review, tidak ada mekanisme audit real time yang melibatkan masyarakat. Selama ini, evaluasi kebijakan sering hanya formalitas: laporan tebal, rapat resmi, tanpa keberanian menyentuh jantung masalah.
Dalam teori korupsi, ini bukan hal baru. Principal–agent theory menyebut, pejabat publik (agent) sering menyalahgunakan mandat dari rakyat (principal). Tapi dalam konteks Indonesia, masalahnya lebih dalam: collective action problem. Korupsi menjadi “hal biasa.” Banyak pejabat yang merasa, “semua juga melakukan.”
Maka ketika mantan menteri sekalipun dijerat kasus korupsi, kita marah tapi tidak terkejut. Ironi ini menyakitkan, tapi tidak aneh. Karena sistem kita masih mentoleransi, bahkan kadang melanggengkan, praktik busuk itu.
Di sinilah publik menaruh harapan pada Presiden Prabowo Subianto. Penetapan tersangka ini bisa menjadi momentum emas. Kalau Presiden berani melanjutkan bersih-bersih tanpa pandang bulu, maka beliau tidak hanya menegakkan hukum, tapi juga mengirim pesan moral: era kompromi dengan korupsi sudah berakhir.
Kita tahu, ini tidak mudah. Jaringan korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu, tapi sistem yang sudah mengakar. Tapi seorang presiden yang berjanji ingin menegakkan kedaulatan dan keadilan tidak boleh gentar. Justru inilah ujian kepemimpinan sejati: berani menegakkan hukum meski menyakitkan, meski melibatkan tokoh besar sekalipun.
Kasus ini seharusnya juga jadi peringatan keras bagi semua penyelenggara negara. Bahwa rakyat sudah muak dengan korupsi. Bahwa setiap rupiah uang negara adalah amanah. Bahwa jabatan publik bukanlah tiket untuk memperkaya diri.
Korupsi di sektor pendidikan adalah pengkhianatan paling kejam. Karena ia merampas masa depan generasi. Ia membunuh kesempatan anak-anak kecil untuk belajar, hanya demi nafsu segelintir pejabat. Itu sebabnya, kasus ini harus menjadi turning point.
Kritik keras ini kita sampaikan bukan untuk melemahkan negara, tapi untuk mengingatkan: jangan lagi rakyat dikhianati. Jangan lagi jabatan dijadikan alat bancakan. Jangan lagi ada program idealis yang ujung-ujungnya hanya proyek bagi kroni.
Indonesia harus berani keluar dari lingkaran setan ini. Dan itu hanya bisa terwujud jika pemerintah bersih-bersih sampai ke akar-akarnya. Kalau tidak, ironi seperti ini akan terus berulang: menteri berganti, program berganti, tapi korupsi tetap sama.
Ironi yang menyakitkan ini memang tidak aneh. Tapi justru karena itu, ia harus dihentikan. Agar kita tidak lagi terbiasa pada kebusukan, dan agar anak-anak kita tidak tumbuh dengan warisan bangsa yang dikhianati oleh pemimpinnya sendiri.