insanimedia.id – Di tengah aktivitas saya mendampingi ibu-ibu jamaah pengajian dalam kegiatan istighosah dan tadabbur ke luar kota, minggu 8 juni 2025, saya tetap turut mengikuti dengan cermat diskusi yang berkembang hangat dalam berbagai forum komunikasi penyelenggara haji furoda di group-group WA. Diskusi ini bertujuan untuk mencari solusi jangka panjang, agar polemik visa furoda tahun ini tidak kembali terulang di musim haji tahun depan.
Namun di tengah upaya konstruktif tersebut, saya terkejut membaca pernyataan publik dari salah satu tokoh nasional, yaitu mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang mengusulkan agar visa haji furoda dihapus saja dari sistem penyelenggaraan haji Indonesia.
Alasannya antara lain karena jalur ini dinilai sarat ketidakpastian (gharar), menyulitkan penelusuran tanggung jawab, dan berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran yang berkepanjangan.
Pandangan ini tentu tidak lahir tanpa alasan. Namun, sebagai akademisi dan pemerhati isu-isu keumatan, izinkan saya menyampaikan beberapa refleksi dan catatan kritis sebagai bentuk kontribusi intelektual atas diskursus yang sedang berkembang ini.
Catatan: Teman-teman media memang sudah mengenal saya sebagai Ketua Litbang DPP AMPHURI. Namun dalam tulisan ini saya ingin mengatakan, bahwa saya tidak mengatasnamakan diri sebagai pengurus AMPHURI dalam kapasitas apapun.
Artikel ini adalah murni pandangan saya sebagai akademisi yang kebetulan juga menjabat sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, yang karena itu saya merasa terpanggil untuk ikut menyumbang perspektif konstruktif terhadap isu keumatan, termasuk isu haji furoda.
Furoda: Jalan Sah, Tapi Perlu Tata Kelola
Visa furoda adalah bentuk dari visa mujamalah, yakni undangan pribadi dari otoritas Kerajaan Arab Saudi. Jalur ini diakui secara hukum internasional, dan dijalankan di banyak negara sebagai mekanisme haji nonkuota.
Permasalahannya bukan terletak pada keberadaan visa itu sendiri, melainkan ketidakteraturan dalam tata kelolanya: tidak adanya standar layanan, ketidakpastian waktu terbit visa, serta belum optimalnya pengawasan terhadap Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Maka yang dibutuhkan adalah perbaikan sistematis, bukan penghapusan.
Risiko dan Implikasi dari Usulan Penghapusan
Dalam pandangan saya, usulan penghapusan jalur furoda di Indonesia, akan beresiko dan berimplikasi setidaknya pada 3 hal. Yaitu: membatasi akses ibadah yang sah, hilangnya momentum reformasi tata kelola haji furoda, dan menyia-menyiakan posisi strategis Indonesia dalam diplomasi haji dengan pemerintah Arab Saudi.
1. Membatasi Akses Ibadah yang Sah
Dengan antrean haji reguler yang bisa mencapai lebih dari 30 tahun di banyak daerah, jalur furoda adalah alternatif sah yang memberi harapan bagi umat Islam yang sudah mampu secara finansial dan fisik untuk berhaji. Menghapus furoda tanpa menyediakan alternatif yang fungsional, bisa menjadi bentuk pembatasan hak ibadah yang seharusnya dijamin oleh konstitusi.
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Maka negara berkewajiban memfasilitasi, bukan justru mempersempit akses ibadah.
2. Kehilangan Momentum Reformasi Tata Kelola
Menghapus jalur furoda secara sepihak sama dengan melewatkan kesempatan besar untuk membenahi tata kelola ibadah haji nonkuota secara transparan dan bertanggung jawab. Apalagi, jalur ini bukan hanya digunakan di Indonesia, tapi juga secara luas di negara-negara lain seperti Malaysia, Pakistan, dan Mesir.
Jika dikelola dengan baik, dengan standar layanan, pengawasan digital, dan kerjasama diplomatik yang kuat, jalur ini justru bisa menjadi model pelayanan haji alternatif yang efisien dan terpercaya.
3. Menyia-nyiakan Posisi Strategis Indonesia dalam Diplomasi Haji
Sebagai negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi penerima kebijakan Arab Saudi, tetapi juga mitra yang aktif dalam membentuknya. Isu furoda seharusnya menjadi agenda diplomasi bilateral, agar ke depan visa ini punya jalur komunikasi resmi, bukan sekadar relasi bisnis antara PIHK dan mitra Saudi.
Negara Tidak Bisa Lepas Tangan
Beberapa pihak menyatakan bahwa furoda adalah urusan bisnis PIHK dan tidak menjadi tanggung jawab negara. Namun, pernyataan ini patut dikritisi.
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2019 menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada jamaah haji dan umrah. Amanah ini berlaku tidak hanya bagi jamaah reguler, tetapi juga jamaah yang berangkat melalui jalur nonkuota selama ia adalah WNI.
Dalam konteks ini, saya mengapresiasi pernyataan Anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Fikri Faqih, yang mengatakan: “Negara tetap memiliki kewajiban untuk hadir dan memastikan adanya perlindungan hukum bagi para jemaah.”
(Fraksi PKS DPR RI, 5 November 2024)
Pernyataan ini menegaskan bahwa keberpihakan negara terhadap umat tidak boleh bersyarat jalur visa. Yang perlu diatur adalah mekanismenya, bukan ditutup jalurnya.
Jalan Tengah: Bukan Penghapusan, Tapi Reformasi
Langkah yang bijak adalah membangun sistem akuntabel untuk jalur furoda, dengan agenda sebagai berikut:
- Standarisasi izin PIHK yang menawarkan jalur furoda.
- Integrasi data visa dengan Konsulat Haji RI di Saudi.
- Peningkatan literasi hukum dan transparansi kontrak kepada jamaah.
- Diplomasi formal untuk menegosiasikan kuota mujamalah yang terkelola.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya melindungi jamaah, tetapi juga menghormati hak-hak ibadah warga negara dan memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan haji dunia.
Furoda bukanlah musuh, tetapi adalah peluang ibadah yang butuh tata kelola. Di tengah semangat perbaikan, mari kita bersikap adil: jangan hukum jalurnya, tapi benahi manajemennya.
Sebagai akademisi dan bagian dari masyarakat sipil, saya meyakini bahwa solusi terbaik bagi umat bukan penghapusan, melainkan pembenahan sistem yang berkeadilan, transparan, dan berlandaskan maslahat.