Blitar, insanimedia.id – Di tengah hamparan sawah yang menguning, para petani Kelompok Tani Wisanggeni di Dusun Boro, Desa Tuliskriyo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, menggelar Tasyakuran Sedekah Bumi (Methik) sebagai ungkapan syukur atas datangnya musim panen. Namun, di balik rasa syukur itu, tersimpan kegelisahan soal penjualan gabah hasil panen mereka.
Harapan petani sempat tumbuh ketika pemerintah melalui Bulog menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp6.500 per kilogram. Sayangnya, kenyataan di lapangan tidak semudah itu.
“Di wilayah Boro, belum ada satu pun petani yang berhasil setor gabah ke Bulog. Aturannya rumit, dan prosedurnya justru mempersulit,” ujar Darmawan, Ketua Kelompok Tani Wisanggeni, usai acara Methik, Rabu (30/04/2025)
Ia menjelaskan bahwa petani harus melaporkan rencana panen minimal dua minggu sebelumnya lewat aplikasi yang hanya bisa diakses oleh Babinsa. Minimnya sosialisasi menyebabkan kebingungan di kalangan petani. Bahkan, kuota pembelian Bulog di wilayah Sanankulon pun terbatas sekitar 7 hingga 10 ton per hari.
“Kalau cuma bisa menyerap sedikit, kami terpaksa jual ke tengkulak, walaupun cuma dihargai Rp5.000 sampai Rp5.500 per kilo,” tambah Darmawan.
Suroso, Sekretaris Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), membenarkan bahwa ongkos produksi petani tidaklah murah. “Biaya produksi padi sekarang mencapai Rp5.776 per kilogram. Jika jual di bawah itu, jelas petani rugi,” tegasnya.
Meski demikian, petani di Jawa tetap bertahan menanam, terutama demi menjaga lahan yang tersisa. “Lahan kita kecil-kecil, jadi tetap ditanami. Tapi kalau sistem serapan gabah tidak dibenahi, petani akan terus jadi korban pasar,” ujar Suroso.
Para petani berharap pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembelian gabah, mulai dari regulasi hingga distribusi kuota. “Kami siap panen dan jual ke Bulog. Tapi tolong, permudah jalannya,” tutup Darmawan. (Tan)