Pemerintah dan Bendera Tengkorak: Siapa yang Sebenarnya Bajak Laut ?

Penulis : Mohammad Isyamuddin, S.H. Kader HmI Cabang Ciputat

Ridwan

insanimedia.id –Di dunia One Piece, bendera tengkorak melambangkan keberanian melawan kekuasaan yang busuk. Tapi di Indonesia hari ini, bendera tengkorak lebih cocok dikibarkan di atas gedung-gedung pemerintahan ketimbang di kapal bajak laut fiksi.

Kenapa? Karena perilaku “bajak laut” di negeri ini sering justru datang dari mereka yang duduk di kursi kekuasaan: menguasai sumber daya, memperkaya kelompoknya, membungkam awak kapal (rakyat) yang berani protes, dan membagi hasil jarahan lewat proyek-proyek “strategis” yang penuh tanda tanya. Bedanya, bajak laut di One Piece berjuang demi kru, sementara “bajak laut” di Indonesia menjarah sambil berlindung di balik jargon “pembangunan” dan “kepentingan nasional”.

Kritik yang Dianggap Ancaman

Dalam pelayaran bangsa, kritik adalah kompas dan peta. Tapi di Indonesia, peta itu sering dirobek karena dianggap menghina nakhoda.

Rakyat yang mengkritik kena ancaman UU ITE. Aktivis diborgol, mahasiswa dihalau dengan gas air mata, jurnalis diintimidasi. Pemerintah mengklaim kita negara demokrasi, tapi perilaku aparatnya sering menunjukkan wajah otoriter. Kritik yang berbasis data dilabeli “hoaks” jika mengganggu citra penguasa.

Contoh nyata ada di berbagai kasus: investigasi media tentang korupsi proyek infrastruktur dibantah tanpa data tandingan; kritik kebijakan lingkungan dilawan dengan gugatan balik; dan keluhan soal mahalnya harga pangan dijawab dengan narasi “situasi terkendali”.

Pemerintah Dunia di One Piece = Pemerintah RI ?

Pemerintah Dunia di One Piece memanipulasi sejarah, mengendalikan media, dan memanfaatkan hukum untuk membungkam lawan. Rasanya terlalu familiar dengan pola di sini.

Di Indonesia, kita menyaksikan upaya sistematis mengontrol narasi publik. Media besar cenderung mengikuti nada pemerintah, sementara media independen dibatasi aksesnya. Ruang kritik di media sosial diawasi, bahkan akun anonim bisa dilacak dan dibungkam. Sementara itu, UU dibuat atau direvisi bukan untuk memperkuat hak rakyat, melainkan untuk mengamankan posisi elite.

Baca Juga :  Hari-Hari Agung di Bulan Dzulhijjah itu Sudah Kita Lalui, Selanjutnya Bagaimana?

Bendera Tengkorak di Istana Negara

Bayangkan kapal besar bernama “Indonesia” yang seharusnya membawa kesejahteraan seluruh penumpang. Tapi nakhoda dan perwiranya malah memungut pajak dari rakyat miskin tanpa memberi pelayanan layak, menggadaikan sumber daya alam ke korporasi besar, dan menutup mata pada kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Proyek Ibu Kota Nusantara yang menyedot ratusan triliun dikebut, sementara masalah stunting, gizi buruk, dan pendidikan di daerah tertinggal belum tertangani serius. Harga pangan terus naik, tapi pejabat malah sibuk pamer keberhasilan makroekonomi yang tak dirasakan rakyat kecil.

Jika di One Piece bendera tengkorak di kapal bajak laut adalah simbol keberanian, di Indonesia bendera itu di istana justru menjadi simbol kerakusan dan pengkhianatan terhadap janji konstitusi.

Ketakutan yang Memalukan

Pemerintah yang bekerja untuk rakyat tidak akan takut dikritik. Ketakutan terhadap kritik adalah tanda ketidakpercayaan diri atau tanda ada yang disembunyikan.

Kita melihat gejala itu di Indonesia:
• Aktivis lingkungan yang menentang tambang diseret ke meja hijau.
• Warga yang protes pembebasan lahan diintimidasi.
• Laporan dugaan korupsi besar justru berakhir dengan pembuat laporan yang diproses hukum.

Bukannya memperbaiki kesalahan, pemerintah malah membangun tembok hukum dan propaganda untuk melindungi citra. Mereka bicara “kebebasan berpendapat” di forum internasional, tapi menutup telinga ketika rakyat sendiri bicara.

Siapa Bajak Laut Sebenarnya ?

Kalau bajak laut adalah mereka yang merampas hak dan kekayaan orang lain demi keuntungan pribadi, mari jujur: di Indonesia, siapa yang memenuhi definisi itu?

Bukan rakyat yang menuntut harga sembako turun atau buruh yang menolak upah murah. Bajak laut sesungguhnya adalah para pejabat dan kroninya yang mengamankan proyek ratusan miliar untuk segelintir orang, yang menandatangani izin tambang yang merusak lingkungan, dan yang menggadaikan kedaulatan ekonomi demi investor asing.

Baca Juga :  Nakama: Tersinggung karena Bendera One Piece Itu Berlebihan

Pelajaran dari Luffy

Luffy, kapten Topi Jerami, tidak takut dikritik oleh krunya. Dia tahu, tanpa masukan, kapal mereka bisa karam. Pemimpin sejati tidak merasa harga dirinya jatuh hanya karena ditegur; dia justru berterima kasih karena arah kapalnya diluruskan.

Bandingkan dengan sebagian pemimpin kita yang alergi kritik. Bukan cuma marah, mereka mengaktifkan seluruh “armada” untuk membungkam suara berbeda. Mereka lupa, kapten yang takut kritik bukanlah pelindung kapal, melainkan ancaman terbesar bagi penumpangnya.

Kritik Bukan Pemberontakan

Pemerintah yang menganggap kritik sama dengan pemberontakan sedang menulis bab awal kehancurannya sendiri. Kritik adalah tanda bahwa rakyat masih peduli. Mengabaikannya berarti menutup mata terhadap karang di depan mata.

Mahasiswa yang menolak kebijakan upah murah, warga yang memprotes penggusuran, atau jurnalis yang mengungkap skandal—mereka bukan ancaman bangsa. Justru merekalah yang mencegah kapal ini menabrak karang.

Laut Akan Menghukum Kapal yang Buta Arah

Sejarah Indonesia mencatat, rezim yang menutup telinga terhadap kritik akhirnya runtuh. Orde Baru jatuh bukan karena badai dari luar, tapi karena gelombang dari dalam: rakyat yang muak pada pemimpin yang hanya mendengar “awak setia” dan menindas suara yang berbeda.

Laut rakyat punya gelombang yang panjang sabarnya, tapi sekali bangkit, kapal sebesar apa pun akan terbalik. Bendera tengkorak di istana hanya akan bertahan selama rakyat masih mau diam. Begitu ombak besar datang, tidak ada benteng hukum atau propaganda yang bisa menahan.

Jika kita melihat bendera tengkorak berkibar di Istana Negara hari ini, kita harus bertanya: itu simbol keberanian melawan ketidakadilan, atau tanda bahwa para penguasa sudah menjadi bajak laut yang sebenarnya?

Jika jawabannya yang kedua, maka rakyat tidak boleh sekadar jadi penumpang pasif. Kita harus jadi ombak—ombak yang mengingatkan, mengguncang, dan jika perlu, menggulingkan nakhoda bajak laut agar kapal Indonesia kembali ke jalur konstitusi dan tujuan awal: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Baca Juga :  Bendera One Piece dan Dinamika Nasionalisme Generasi Muda