Perlawanan Tanpa Batas: Suara Dunia Melawan Korupsi

Oleh: Ulul Albab Ketua ICMI Jawa Timur

insanimedia.id – Dalam satu bulan terakhir, dunia menyaksikan gelombang unjuk rasa yang bermuatan sama, yaitu: perlawanan terhadap praktik korupsi. Dari Indonesia, Nepal, hingga Australia, rakyat berbondong-bondong turun ke jalan menuntut bersihnya pemerintahan dari perilaku busuk “korupsi, kolusi, dan nepotisme” (KKN).

Di Indonesia, aksi demonstrasi besar-besaran berlangsung 25–31 Agustus 2025. Ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis memenuhi jalan-jalan ibu kota serta berbagai daerah. Tuntutannya jelas, antara lain: hentikan praktik KKN, bersihkan pemerintahan dari pejabat yang mengkhianati amanah rakyat. Aksi ini melanjutkan tradisi panjang gerakan mahasiswa sejak Reformasi 1998 yang menjadikan perlawanan terhadap KKN sebagai titik tolak perubahan.

Tak lama berselang, dunia dikejutkan oleh tragedi di Nepal. Demonstrasi menentang korupsi di Kathmandu dan kota-kota lain berubah menjadi kekerasan. Korban jiwa berjatuhan, aparat kehilangan kendali, dan tekanan massa membuat pemerintah jatuh. Beberapa pejabat publik bahkan tidak saja diminta mundur, tetapi juga dipermalukan dan dihadapkan pada kekerasan massa. Tragedi ini menunjukkan bahwa kemarahan rakyat akibat korupsi bisa meluas menjadi kekacauan politik yang sulit dikendalikan.

Gelombang itu berlanjut ke Australia. Pada 13 September 2025, ribuan orang turun ke jalan di Melbourne, Sydney, Brisbane, hingga Darwin. Meski tuntutan yang diusung beragam mulai dari biaya hidup hingga isu rasial kelompok Australia Unites Against Government Corruption menegaskan bahwa perlawanan terhadap korupsi tetap menjadi salah satu tema sentral.

Ironisnya, ini terjadi di negara dengan tata kelola relatif baik dan sistem demokrasi yang matang. Fakta ini membuktikan bahwa keresahan terhadap korupsi tidak mengenal batas: ia universal, melintasi garis kaya-miskin maupun maju-berkembang.

Cermin bagi Indonesia

Bagi Indonesia, rangkaian peristiwa ini adalah cermin yang jernih. Pertama, kita tidak sendirian dalam menghadapi korupsi. Negara maju maupun negara berkembang sama-sama bergulat dengan musuh yang sama. Kedua, kemarahan rakyat terhadap korupsi tidak pernah bisa diremehkan. Jika dibiarkan berlarut, maka bisa memicu gejolak sosial yang luas, bahkan menumbangkan pemerintahan. Nepal adalah bukti paling tragis.

Baca Juga :  DAM Kali Bentak, Kejari Kabupaten Blitar sudah Periksa 32 Saksi, Salah Satunya Mantan Bupati Mak Rini

Sejarah kita sendiri mengajarkan hal serupa. Reformasi 1998 meletus karena kombinasi krisis ekonomi dan maraknya praktik KKN. Yang juga berakhir secara tragis dengan ditandai runtuhnya pemerintahan rejim orde baru dan kerusuhan massal yang meluas. Aksi 25-31 Agustus 2025 menunjukkan bahwa api perlawanan terhadap korupsi masih menyala di hati generasi muda. Kesabaran rakyat ada batasnya.

Perang Tanpa Akhir

Korupsi mungkin tidak pernah benar-benar lenyap. Tetapi justru karena itu, perang melawannya harus terus dilakukan. Instrumen hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Transparansi birokrasi melalui digitalisasi harus diperluas. Pendidikan moral antikorupsi harus dimulai sejak dini. Dan yang lebih penting, para pejabat publik harus memberi teladan.

Gelombang protes dari Indonesia, Nepal, hingga Australia menegaskan bahwa korupsi adalah dosa sosial yang tidak pernah mendapat tempat dalam hati rakyat. korupsi tidak hanya mencuri uang negara, tetapi mencuri kepercayaan publik.

Pesan moralnya jelas: jangan sekali-kali bermain-main dengan korupsi. Karena korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat, dan rakyat, kapan pun dan di manapun, selalu punya cara untuk melawan.