Polemik Visa Haji Furoda dan Harapan Tata Kelola Haji di Masa Depan Yang Lebih Adil

Oleh: Ulul Albab Ketua Litbang DPP Amphuri Ketua ICMI Jatim

Ulul Albab Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

insanimedia.id , – Kabar bahwa visa haji mujamalah, yang lebih populer dengan sebutan visa furoda, tidak diterbitkan pada musim haji 2025 mengejutkan banyak pihak. Peristiwa ini tentu menimbulkan pertanyaan publik, terutama soal otoritas, keadilan, dan transparansi dalam pengelolaan ibadah haji global.

Penting bagi kita untuk melihat peristiwa ini dalam kerangka yang lebih luas: yaitu bahwa ibadah haji, selain ritual spiritual, juga merupakan proses sosial yang sangat kompleks dan menuntut tata kelola yang terukur dan berkeadilan global.

Latar Belakang Keputusan

Berdasarkan informasi yang dirilis otoritas penyelenggara haji di Indonesia dan laporan media resmi, kita mengetahui bahwa latar belakang peristiwa ini adalah karena kerajaan Arab Saudi sedang melakukan penataan ulang terhadap sistem penerbitan visa dan manajemen jemaah haji lintas negara. Ini dilakukan dilatarbelakangi oleh peristiwa musim haji tahun sebelumnya (2024), di mana terjadi lonjakan jumlah jemaah melebihi kapasitas kawasan Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina).

Data resmi menunjukkan bahwa lebih dari 1.300 jemaah wafat pada musim haji 2024, dan sekitar 80% di antaranya adalah pemegang visa nonhaji (seperti visa ziarah dan visa kerja). Selain tidak terdaftar secara resmi dalam sistem distribusi layanan, mereka juga dilaporkan menempati fasilitas milik jemaah resmi, menimbulkan kerancuan administratif dan konflik logistik di lapangan.

Sebagai respons, Arab Saudi mengambil kebijakan strategis untuk membatasi akses ibadah haji hanya kepada mereka yang memperoleh visa resmi dalam kuota haji yang telah ditentukan. Visa mujamalah, yang selama ini diberikan secara terbatas di luar sistem kuota nasional, untuk sementara dihentikan. Tujuannya adalah menata ulang sistem dan mencegah risiko keselamatan massal yang dapat terjadi akibat overkapasitas.

Baca Juga :  Awal Ramadhan KAI Daop 7 Madiun Catat Sebanyak 18.809 Penumpang KA untuk Pulang Kampung Halaman

Kedaulatan, Kolektivitas, dan Perspektif Syariat

Sebagian kalangan menyoroti bahwa Makkah, Madinah, dan tempat-tempat suci lainnya adalah milik umat Islam seluruh dunia. Dalam konteks spiritual, hal ini benar adanya. Namun dalam konteks negara-bangsa dan administrasi kenegaraan, pengelolaan fisik dan logistik kawasan suci tersebut adalah wewenang resmi pemerintah Arab Saudi, sebagaimana mandat pengelolaan negara terhadap urusan publik dalam syariat Islam.

Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), serta ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59)

Ayat ini menegaskan bahwa dalam urusan public, termasuk dalam mengatur jutaan manusia yang berhimpun dalam satu waktu dan tempat, otoritas negara memegang peranan penting untuk menjamin keamanan, keadilan, dan kemaslahatan bersama.

Tantangan bagi Penyelenggara dan Negara Pengirim

Bagi para penyelenggara ibadah haji nonreguler (PIHK), peristiwa ini seharusnya menjadi refleksi mendalam. Mengandalkan jalur visa yang tidak dijamin kejelasannya hingga menjelang hari keberangkatan adalah risiko besar yang bisa berdampak sistemik, baik secara finansial, sosial, maupun spiritual.

Komunikasi yang kurang transparan dengan calon jemaah, minimnya manajemen risiko, serta narasi pemasaran yang menjanjikan “panggilan Allah” tanpa memperjelas mekanisme visa, semua itu merupakan titik lemah yang perlu dibenahi secara sistemik.

Negara pengirim juga perlu melakukan penguatan regulasi, edukasi publik, dan literasi kebijakan internasional, agar masyarakat memahami bahwa tidak semua jalur keberangkatan haji memiliki jaminan legal dan operasional yang setara.

Menuju Tata Kelola Ibadah Haji Global yang Adil

Ke depan, diperkirakan Arab Saudi akan memperkuat sistem haji berbasis digital dan terpusat, dengan semua jenis visa dan layanan tersistem secara daring dan transparan. Ini menandai era baru dalam tata kelola ibadah haji yang semakin modern namun tetap menuntut akuntabilitas.

Baca Juga :  Fenomena Haji Furoda: Analisis dari Perspektif Spiritualitas, Status Sosial, dan Tantangan Regulasi

Maka, tantangan terbesar bagi negara pengirim, termasuk Indonesia, adalah bertransformasi dari hanya sebagai negara pengirim jemaah menjadi mitra aktif dalam tata kelola haji global. Ini mencakup perbaikan manajemen PIHK, penegakan hukum bagi pihak yang lalai atau menyalahgunakan kepercayaan jemaah, serta peningkatan kapasitas negosiasi dan diplomasi haji lintas negara.

Saatnya Berhaji dengan Ilmu dan Tanggung Jawab

Peristiwa tidak terbitnya visa furoda di tahun 2025 bukanlah akhir segalanya. Justru, ia adalah pengingat penting bahwa ibadah agung seperti haji harus dilakukan dengan kesiapan spiritual dan administratif. Bahwa haji bukan sekadar “berangkat” dan menunaikan rukun, tetapi juga tentang “taat aturan”, “sabar dalam antrean”, dan “percaya pada ketetapan Allah dalam bentuk kebijakan negara.”

Haji adalah panggilan, benar. Tapi panggilan itu tidak bisa dipisahkan dari aturan, amanah, dan akal sehat. Dengan bekal ilmu dan integritas, insyaAllah umat Islam dunia akan mampu menghadirkan wajah peradaban yang tertib, adil, dan penuh Rahmat, mulai dari Tanah Suci hingga ke kampung halaman masing-masing.