Prabowonomics: Mewujudkan Kemandirian Ekonomi atau Ancaman bagi Ekonomi Indonesia?

Insani Media
Ulul Albab Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi Unitomo Surabaya

Insanimedia.id – Sebagai Presiden Indonesia yang baru, Prabowo Subianto mewarisi tantangan besar dalam memimpin negara ini menuju kemajuan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Salah satu gagasan ekonominya yang paling menonjol adalah Prabowonomics, yang diharapkan bisa mengubah arah kebijakan ekonomi Indonesia dengan menekankan nasionalisme ekonomi, kemandirian, dan populisme. Namun, di balik ambisi besar ini, terdapat tantangan dan risiko yang perlu dianalisis dengan kritis.

 

Prabowonomics dan Nasionalisme Ekonomi

Prabowo menekankan pentingnya nasionalisme ekonomi, dengan tujuan mengurangi ketergantungan Indonesia pada investasi asing dan impor. Prinsip ini mendasari berbagai kebijakan yang diusungnya, yang bertujuan untuk memajukan industri domestik dan memperkuat perekonomian lokal. Salah satu kebijakan yang mencolok adalah perlindungan terhadap sumber daya alam Indonesia, dengan mengusulkan regulasi yang lebih ketat terhadap kepemilikan asing atas sektor-sektor vital, seperti sumber daya alam dan energi.

Namun, apakah kebijakan proteksionisme ini akan memberi dampak positif dalam jangka panjang? Banyak ahli ekonomi yang mengingatkan bahwa proteksionisme dapat membatasi daya saing Indonesia di pasar global dan memperlambat integrasi dengan ekonomi internasional. Kebijakan seperti ini, meskipun mengedepankan kemandirian, bisa menghadapi kesulitan dalam menarik investasi asing yang sangat diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Satu contoh penting adalah kebijakan hilirisasi yang sebelumnya digagas oleh Presiden Jokowi, yang kini diteruskan dan diperluas oleh Prabowo. Meski kebijakan ini memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri, implementasinya memerlukan ketelatenan dan keberanian dalam menanggulangi resistansi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan pasar global. Di sisi lain, adopsi kebijakan yang lebih proteksionis dan membatasi akses asing terhadap sumber daya alam dapat memperburuk ketegangan dalam hubungan ekonomi Indonesia dengan negara-negara maju.

Baca Juga :  Kepercayaan Publik Tinggi, 73,6% Masyarakat Puas Pemberantasan Korupsi Era Prabowo

 

Populisme Ekonomi: Solusi atau Jerat?

Salah satu fitur utama dalam Prabowonomics adalah populisme, dengan fokus pada program kesejahteraan sosial. Prabowo menekankan pentingnya memberikan subsidi bagi petani, nelayan, serta usaha kecil dan menengah (UKM). Program-program seperti makan siang bergizi gratis untuk siswa sekolah dan peningkatan anggaran untuk sektor kesehatan dan pendidikan menjadi bagian integral dari visinya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Namun, di balik ambisi populis ini, ada potensi risiko terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, program kesejahteraan sosial yang luas memerlukan anggaran yang sangat besar. Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah: apakah Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk membiayai program-program ambisius ini tanpa mengorbankan keseimbangan fiskal atau memperburuk defisit anggaran?

Selain itu, program populis seringkali rentan terhadap penyalahgunaan dan korupsi, terutama ketika disalurkan melalui saluran birokrasi yang belum sepenuhnya bersih. Tantangan terbesar Prabowo adalah memastikan bahwa kebijakan populis ini benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa terbebani oleh birokrasi yang kaku dan rentan terhadap praktik korupsi.

 

Pembangunan Sektor Pertanian dan Perdesaan: Antara Modernisasi dan Ketahanan Pangan

Prabowo memandang sektor pertanian sebagai salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, ia mendorong modernisasi sektor pertanian dan revitalisasi pedesaan melalui program koperasi desa yang difasilitasi oleh pemerintah. Modernisasi ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani dan memastikan ketahanan pangan nasional.

Namun, sektor pertanian Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar, mulai dari kurangnya akses terhadap teknologi modern hingga ketergantungan pada kondisi alam yang tidak dapat diprediksi. Meskipun Prabowo mendorong penerapan teknologi pertanian canggih, implementasinya memerlukan investasi yang signifikan dalam infrastruktur dan pelatihan yang memadai untuk para petani. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, program ini bisa berakhir dengan peningkatan ketergantungan terhadap teknologi luar negeri dan pasar global, alih-alih menciptakan kemandirian ekonomi yang sejati.

Baca Juga :  PC Muhammadiyah Sadang Membangun Ekonomi untuk Kemajuan Umat

Peran Negara dalam Pembangunan Ekonomi: Antara Otoritarianisme dan Kebijakan yang Efektif

Prabowo mengusung konsep pembangunan yang dipimpin negara, di mana peran perusahaan milik negara (BUMN) menjadi lebih dominan dalam mengarahkan perekonomian Indonesia. Ia juga mengusulkan peningkatan investasi dalam infrastruktur dan proyek-proyek energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, peran negara yang lebih besar dalam ekonomi ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan transparansi pengelolaan sumber daya. Negara yang terlalu dominan dalam ekonomi sering kali menghadapi masalah birokrasi yang lamban dan kecenderungan untuk terjebak dalam korupsi. Selain itu, kebijakan ini bisa mengurangi dinamika pasar bebas yang penting untuk menciptakan kompetisi yang sehat.

Penting juga untuk diperhatikan bahwa kebijakan pembangunan yang dipimpin negara sering kali berisiko menekan sektor swasta yang lebih inovatif. Jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang ketat, kebijakan ini bisa berpotensi menimbulkan monopoli dan menciptakan ketidakseimbangan dalam perekonomian.

Tantangan Global dan Ketergantungan pada Pasar Internasional

Salah satu kritik terbesar terhadap Prabowonomics adalah bahwa meskipun kebijakan ini berfokus pada kemandirian dan pengurangan ketergantungan pada ekonomi global, dunia saat ini sudah sangat terhubung. Isu seperti perdagangan bebas, aliran modal internasional, dan kemajuan teknologi digital menjadi faktor yang tak terhindarkan dalam perkembangan ekonomi suatu negara.

Prabowo menyadari ini dan berusaha untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam kelompok negara-negara berkembang yang lebih kuat, seperti BRICS. Langkah ini sejalan dengan keinginan untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional dan mengurangi ketergantungan pada negara-negara besar yang selama ini mendominasi perekonomian global. Namun, menjadi anggota BRICS juga memerlukan Indonesia untuk menghadapi tantangan diplomatik dan ekonomi yang lebih besar, terutama dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara di tengah tekanan internasional.

Baca Juga :  Tambang Bukan Jalan Tuhan: HMI Menolak Komodifikasi Alam atas Nama Pembangunan

Kesimpulan: Sebuah Jalan Tengah yang Penuh Tantangan

Prabowonomics, sebagai konsep ekonomi yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, memang memiliki potensi besar untuk mengubah arah kebijakan ekonomi Indonesia. Namun, kebijakan-kebijakan yang sangat nasionalistik dan proteksionis ini tidak bisa dipandang sebagai solusi tunggal. Tantangan terbesar bagi Prabowo adalah menemukan jalan tengah antara mempertahankan kemandirian ekonomi dan tetap berintegrasi dengan ekonomi global yang terus berkembang.

Keberhasilan Prabowonomics akan sangat tergantung pada kemampuannya dalam mengelola keseimbangan antara negara dan pasar, serta kemampuan untuk mewujudkan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Jalan menuju kemandirian ekonomi Indonesia bukanlah jalan yang mudah, tetapi jika dijalankan dengan kebijakan yang hati-hati dan terukur, Prabowonomics bisa menjadi strategi untuk mengubah wajah ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik.