Refleksi untuk Wakil Rakyat

Oleh: Ulul Albab Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

Ulul Albab Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

insanimedia.id – Di balik hiruk pikuk sidang, debat panjang, dan sorak sorai politik, ada saat di mana kita perlu berhenti sejenak. Hening. Bertanya pada diri sendiri: Apakah benar selama ini kita sungguh-sungguh menjadi wakil rakyat? Ataukah kita hanya sibuk mewakili partai, kelompok, bahkan diri kita sendiri?

Jabatan wakil rakyat adalah titipan. Bukan milik pribadi, bukan hak abadi. Ia hanya sementara, tetapi pertanggungjawabannya kekal—di hadapan sejarah, rakyat, dan tentu saja di hadapan Allah.

Realitas yang Menggetarkan Hati

Rakyat hari ini masih berjuang dengan berat. Harga beras naik, biaya sekolah kian mahal, akses kesehatan tidak merata, dan lapangan pekerjaan belum cukup menampung. Di sudut-sudut negeri, ada petani yang tercekik oleh harga pupuk, ada nelayan yang terombang-ambing karena bahan bakar mahal, ada anak-anak yang belajar dengan buku lusuh dan ruang kelas reyot.

Namun, di ruang-ruang parlemen kita masih sering mendengar debat yang menjauh dari realitas rakyat. Terlalu banyak energi terkuras pada kepentingan partai dan posisi politik, sementara suara rakyat—yang seharusnya paling nyaring—malah kian lirih. Di sinilah empati diuji: apakah wakil rakyat benar-benar turun merasakan denyut rakyat, atau hanya melihatnya dari balik kaca mobil gelap dan ruang rapat ber-AC?

Kisah-Kisah Teladan yang Tak Lekang Waktu

Sejarah bangsa dan dunia telah memberi kita contoh nyata tentang pemimpin dan wakil rakyat sejati.

Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama kita, hidup dalam kesederhanaan yang nyaris tak masuk akal untuk ukuran seorang pemimpin bangsa. Hingga akhir hayatnya, ia tidak punya rumah pribadi. Pernah suatu kali ia ditanya, mengapa tidak membeli rumah? Dengan senyum tipis ia menjawab, “Saya tidak punya uang.” Jawaban itu bukan keluhan, melainkan bukti bahwa baginya kekuasaan bukanlah jalan memperkaya diri, tetapi sarana mengabdi.

Baca Juga :  Birokrasi yang Melayani, Tapi Lupa Memberdayakan?

KH. Agus Salim, diplomat ulung, dijuluki “The Grand Old Man” oleh dunia internasional. Ia kerap hadir dengan sepeda tua, mengenakan pakaian sederhana. Bahkan pernah diejek oleh kolega asing sebagai “jongos diplomatik.” Namun beliau tidak marah. Dengan wibawa dan kecerdasannya, ia justru mengangkat martabat bangsa Indonesia di panggung dunia. Kesederhanaannya bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral yang membuat lawan bicara segan.

Buya Hamka, ulama dan intelektual besar, pernah duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tetapi baginya jabatan hanyalah sarana, bukan tujuan. Ketika merasa fatwa MUI disalahgunakan oleh penguasa, ia memilih mundur. Sebuah keputusan berani, karena ia tidak ingin integritas moralnya ternodai oleh kepentingan politik. Dari Hamka kita belajar: lebih baik kehilangan jabatan daripada kehilangan kehormatan.

Dari luar negeri, kita belajar dari Nelson Mandela. Tiga puluh tahun lebih ia meringkuk dalam penjara apartheid. Namun saat keluar, ia tidak menebar dendam. Ia justru merajut rekonsiliasi, memeluk musuh-musuhnya, dan menyembuhkan bangsanya yang retak. Kebesaran jiwa Mandela adalah teladan bahwa politik sejati bukanlah arena balas dendam, melainkan ruang penyembuhan.

Lalu ada Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang dijuluki Honest Abe. Kejujurannya begitu legendaris. Konon ia rela berjalan bermil-mil hanya untuk mengembalikan beberapa sen yang bukan miliknya. Kejujuran sederhana itulah yang membuat rakyat percaya, sehingga ketika ia berbicara tentang penghapusan perbudakan, suaranya bergema jauh melampaui sekat politik.

Nilai-Nilai yang Harus Dihidupkan

Dari kisah-kisah itu, kita belajar bahwa wakil rakyat sejati tidak diukur dari seberapa tinggi kursinya, tetapi dari seberapa dalam empati dan kejujurannya.

  • Kesederhanaan, karena dengan itu rakyat merasa dekat.
  • Empati sosial, karena dengan itu wakil rakyat mampu merasakan perih rakyat kecil.
  • Keberanian moral, karena tanpa keberanian, kebenaran akan kalah oleh arus mayoritas.
  • Integritas, karena janji yang tidak ditepati adalah pengkhianatan pada rakyat.
  • Kebesaran jiwa, karena politik tanpa rekonsiliasi hanya akan meninggalkan luka yang lebih dalam.
Baca Juga :  Cermin Yang Tidak Sempurna

Panggilan Hati Nurani

Sahabat wakil rakyat, sejarah akan menuliskan nama kita. Pertanyaannya: bagaimana ia akan mencatat kita? Apakah sebagai pejuang sejati yang membela kepentingan rakyat? Atau sekadar nama yang lewat, tenggelam, dan dilupakan karena sibuk melayani kepentingan diri sendiri?

Kekuasaan hanyalah singgah sementara. Tetapi empati, kejujuran, dan keteladanan adalah warisan abadi.

Penutup

Mari kita jadikan politik sebagai ibadah sosial. Sebagai jalan menebar manfaat, bukan sarana mencari keuntungan. Mari belajar dari teladan-teladan yang telah lebih dulu meninggalkan jejak, agar wakil rakyat kita bukan menjadi beban, melainkan teladan yang dirindukan rakyatnya.

Semoga Allah membimbing hati para wakil rakyat kita, agar selalu berpihak pada kebenaran dan keberpihakan pada rakyat yang diwakili.