Serial Inspirasi Qurban (3) Makna Sosial Qurban dalam Konteks Kemiskinan dan Ketimpangan

Oleh: Ulul Albab Ketua ICMI Jatim, Ketua Litbang DPP Amphuri, Pembina Yayasan Masjid SubulusSalam GWA Sidoarjo

Ulul Albab Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

insanimedia.id , – Idul Adha adalah juga peristiwa sosial yang menyatukan dimensi ibadah dan keadilan. Dalam konteks Indonesia dan banyak negara Muslim lainnya, kemiskinan dan ketimpangan sosial masih menjadi tantangan besar. Maka, sangat penting memaknai kembali ibadah qurban sebagai alat distribusi keadilan sosial dan upaya kolektif untuk mengurangi kesenjangan.

Qurban sebagai Sistem Redistribusi Ekonomi

Qurban secara fiqih memang ibadah mahdhah. Tapi dampaknya sangat nyata dalam kehidupan sosial. Ketika hewan sembelihan didistribusikan secara adil, maka terjadi proses redistribusi kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan. Inilah esensi solidaritas sosial.

Menurut teori redistribusi sosial yang dikembangkan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), keadilan dicapai jika ketimpangan yang ada dapat memberi keuntungan bagi kelompok paling lemah (the least advantaged). Qurban, secara filosofis, selaras dengan prinsip ini.

Dalam jurnal “Faith-Based Charity and Social Justice in Islam” (Benthall, 2003), disebutkan bahwa dalam Islam, praktik ibadah seperti zakat dan qurban tidak dimaknai sebagai tindakan kebaikan personal belaka, tetapi sebagai kewajiban moral untuk membangun masyarakat yang adil.

Laporan World Inequality Report 2022 menyebut bahwa 10% kelompok terkaya dunia menguasai lebih dari 76% kekayaan global, sementara separuh populasi dunia hanya memiliki 2%. Di Indonesia, laporan dari BPS dan Bank Dunia menunjukkan bahwa gini ratio masih tinggi, dan pandemi COVID-19 lalu semakin memperlebar jurang kemiskinan itu.

Dalam kondisi ini, makna qurban semakin urgen. Qurban menjadi gerakan tahunan melawan ketimpangan struktural, dengan mendidik umat agar peduli pada ketidakadilan ekonomi di sekitar mereka.

Dari Ritual ke Transformasi Sosial

Sosiolog Muslim Dr. Syed Farid Alatas dalam tulisannya di Islam and the Problems of the Modern World (2010) menjelaskan bahwa ritual keagamaan bisa menjadi alat transformasi sosial, jika diarahkan untuk menyadarkan umat tentang ketimpangan, kemiskinan, dan perlunya aksi nyata.

Maka, praktik qurban harus dibingkai sebagai pendidikan empati dan aksi kolektif. Jika dikelola secara profesional, qurban bisa: (a). Memberi makan kepada keluarga miskin yang jarang menikmati protein hewani. (b).Memberi peluang bagi peternak lokal untuk mendapat pasar. (c). Mendidik generasi muda tentang tanggung jawab sosial umat Islam.

Qurban yang seperti selama ini (dikelola oleh komunitas pesantren, lembaga sosial, hingga masjid berbasis komunitas) sebetulnya sudah menunjukkan contoh yang baik, tetapi perlu diperluas dalam skema welfare-based economy yang lebih sistematis.

Inilah tugas para cendekiawan muslim untuk membangun konsep pengelolaan dan manajemen qurban agar lebih berdampak dan bermaslahat multiplier.

Membangun Model Qurban Sosial Berkelanjutan

Untuk menjawab tantangan zaman, kita perlu membangun model qurban sosial yang berkelanjutan, antara lain:

Qurban produktif: Mengelola daging qurban menjadi produk olahan yang bisa didistribusikan dalam jangka waktu lebih panjang, seperti rendang kaleng atau abon daging untuk daerah rawan pangan.

Qurban pemberdayaan: Menyediakan hewan qurban dari peternak kecil binaan agar ekonomi desa juga tumbuh.

Qurban edukatif: Melibatkan anak-anak dan remaja dalam proses distribusi agar mereka memahami nilai-nilai sosial qurban sejak dini.

Qurban sebagai Gerakan Perubahan

Ibadah qurban tidak boleh berhenti sebagai ritual individual. Tetapi harus menjadi gerakan kolektif sosial yang memulihkan martabat kaum miskin, menguatkan jejaring solidaritas, dan mempersempit jurang ketimpangan.

Sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Qur’an: “Daging dan darah hewan qurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37).

Takwa sosial inilah yang perlu kita hidupkan kembali. Karena di tengah dunia yang semakin kapitalistik, qurban adalah pengingat bahwa keberagamaan sejati bukan hanya soal hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga tanggung jawab horizontal kepada sesama manusia.