Setelah Ramadhan Terbitlah “Light-Minded People”: Kembali ke Fitrah Manusia Melalui Puasa Ramadan

Ir. LA Mema Parandy, S.T.,M.M., CBPA. - Departemen Kerjasama Wilayah Jateng, Jatim & Bali Badan Kejuruan Teknik Industri - Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI PII 2024-2027)

Kajian Islam, insanimedia.id – Ramadan 1446 Hijirah tiba seperti bisikan lembut di tengah hiruk-pikuk hidup. Bukan sekadar saat untuk menahan lapar dan haus dari fajar hingga matahari tenggelam, bulan ini membawa kita pada sebuah perjalanan yang jauh lebih dalam.

Oleh: Ir. LA Mema Parandy, S.T.,M.M., CBPA. – Departemen Kerjasama Wilayah Jateng, Jatim & Bali Badan Kejuruan Teknik Industri – Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI PII 2024-2027)

Ini adalah undangan untuk menyelami jiwa, membersihkan hati, dan kembali pada sesuatu yang begitu murni dalam diri kita—sesuatu yang disebut fitrah. Al-Qur’an mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan dengan keadaan alami yang lurus, sebuah cetak biru ilahi yang tak pernah berubah, yang mengarahkan kita pada kebenaran dan kebaikan.

Puasa Ramadan bukan cuma soal mengandaikan diri atau menutup rapat mulut dari makanan atau minuman. Ia bagikan latihan untuk menahan diri dari segala yang bisa menjauhkan kita dari esensi kemanusiaan kita.

Selama 30 hari, kita diajak untuk menjinakkan nafsu bukan hanya nafsu fisik, tapi juga nafsu untuk marah, mengeluh, atau mengejar hal-hal yang tak abadi.

Di balik itu semua, ada harapan yang tumbuh: harapan untuk menjadi lebih sabar, lebih dekat pada Allah SWT, dan lebih sadar akan tujuan hidup kita. Dari sini, lahirlah apa yang aku sebut “light-minded people” orang-orang yang hatinya ringan, pikirannya jernih, dan langkahnya penuh arti.

Aku sering bertanya pada diri sendiri: apa yang membuat Ramadan begitu istimewa? Jawabannya sederhana, tapi dalam. Ini bukan sekadar kewajiban yang kita jalani karena tradisi atau perintah.

Ramadan adalah sekolah kehidupan tempat kita belajar menjadi manusia sejati. Bayangkan: kita yang biasanya sibuk dengan urusan dunia pekerjaan, keluarga, atau sekadar scrolling layar ponsel tiba-tiba diajak berhenti.

Kita diminta merenung, melihat ke dalam diri, dan bertanya: “Apa yang benar-benar penting dalam hidup ini?”. Di bulan ini, kita melepas beban yang selama ini kita pikul—ketakutan, ambisi berlebih, atau luka yang tersimpan—dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih ringan: syukur, harapan, dan cinta.

Aku ingat sebuah pagi di Ramadan beberapa tahun lalu. Udara masih dingin, langit baru saja tersapu warna oranye tipis di timur. Aku duduk di teras dengan secangkir teh, menunggu azan Subuh.

Di saat-saat seperti itu, dunia terasa hening, dan hati terasa lebih hidup. Ada perasaan bahwa aku bukan cuma sedang menjalani hari, tapi sedang membangun sesuatu di dalam diriku—sesuatu yang lebih baik, lebih tulus.

Itulah yang Ramadan lakukan: ia membawa kita kembali pada diri kita yang paling asli, yang mungkin selama ini tertutup oleh kesibukan atau kebiasaan buruk.

Dan ini bukan cuma soal pribadi. Ramadan juga punya kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia di sekitar kita. Ketika kita merasakan lapar, kita jadi lebih peka pada mereka yang tak punya cukup makanan setiap hari.

Ketika kita menahan diri dari kata-kata kasar, kita belajar menghargai hubungan dengan orang lain. Hasilnya, kita tak hanya menjadi lebih baik untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekitar kita, keluarga, tetangga, bahkan orang asing yang kita temui di jalan.

Tulisan ini bukan cuma cerita tentang puasa. Ini adalah perjalanan untuk memahami bagaimana Ramadan membentuk kita menjadi “light-minded people” orang-orang yang hidup dengan hati yang lapang dan jiwa yang tercerahkan.

Kita akan menyelami bagaimana bulan ini membawa kita kembali pada *fitrah*, membuka pintu transformasi, dan meninggalkan jejak kebaikan yang abadi. Mari kita berjalan bersama dalam cerita ini, dengan hati terbuka dan pikiran yang jernih.