Skema Tanazul Batal Diterapkan pada Ibadah Haji 2025: Apa Itu Tanazul?

Oleh: Ulul Albab Kabid Litbang DPP Amphuri, Ketua ICMI Jawa Timur

insanimedia.id , – Tanazul adalah kebijakan khusus yang dirancang oleh Kementerian Agama Indonesia untuk memberikan kemudahan kepada jamaah haji (khususnya lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan) dalam menjalankan rangkaian ibadah haji di lokasi yang paling padat, yaitu: Mina.

Secara istilah, tanazul berasal dari kata Arab yang berarti “mundur” atau “mengalah.” Dalam konteks ibadah haji, tanazul dimaknai sebagai kebijakan membolehkan jamaah tertentu untuk tidak mabit (bermalam) di Mina selama hari-hari tasyriq. Sebagai gantinya, mereka diperkenankan kembali ke hotel di Makkah setelah melempar jumrah.

Kebijakan ini lahir dari ikhtiar dan ijtihad yang dilandasi semangat maslahat: menjaga keselamatan jamaah haji yang rentan, mengurangi kepadatan di tenda Mina, serta menyesuaikan jarak dan daya tempuh jamaah yang semakin beragam kondisinya.

Namun, seperti yang diumumkan resmi oleh Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, skema tanazul untuk musim haji 1446 H/2025 M ditunda pelaksanaannya. Keputusan ini diambil setelah dilakukan koordinasi dan evaluasi dengan para pemangku kebijakan di Kerajaan Arab Saudi. Alasan utamanya sederhana tapi serius, ap aitu?: keselamatan jamaah.

Skema Disiapkan, Realisasi Ditunda

Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah menyiapkan skema ini dengan cukup matang. Berdasarkan Keputusan Dirjen PHU Kemenag Nomor 137 Tahun 2025, sebanyak 37 ribu jamaah telah disiapkan untuk mengikuti layanan tanazul, lengkap dengan bus, hotel transit, logistik konsumsi, bahkan pos jaga mobile.

Namun pihak Arab Saudi melalui Kementerian Haji dan Umrah memilih untuk menunda skema ini, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk seluruh negara. Mereka khawatir jika skema tanazul dilaksanakan secara luas oleh berbagai negara, akan menimbulkan kepadatan ekstrem di jalan-jalan menuju Jamarat, terutama jika waktu pelemparan jumrah saling berebut.

Menteri Agama RI, KH Nasaruddin Umar, menjelaskan dengan jujur: “Kalau jamaah Indonesia sih insyaAllah teratur. Tapi kita kan tidak bisa menjamin negara lain. Kalau berpapasan dengan rombongan besar dari negara lain, apalagi dengan postur tubuh yang besar-besar, kita bisa kalah dalam desak-desakan.”

Dalam konteks ini, kita bisa melihat bahwa keputusan penundaan tanazul bukanlah bentuk kegagalan, melainkan bentuk kehati-hatian. Sebuah ijtihad bisa saja belum diterima pelaksanaannya hari ini, tetapi tetap bernilai sebagai proses perbaikan pelayanan ibadah haji ke depan.

Bolehkah Tanazul Dilakukan Mandiri?

Meski program resmi tanazul dibatalkan, jamaah tetap dimungkinkan untuk melakukan tanazul secara mandiri. Tentu dengan berkoordinasi bersama syarikah (mitra penyelenggara di Saudi), terutama terkait logistik konsumsi dan akses mobilitas. Namun, skema ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan mengikuti arahan dari otoritas Saudi agar tidak terjadi pelanggaran aturan atau bahkan penalti yang merugikan jamaah.

Dalam fiqih ibadah haji, mabit di Mina merupakan wajib haji, namun ada ruang ijtihad yang memungkinkan rukhsah (keringanan) dalam kondisi darurat atau uzur syar‘i. Prinsip utama dalam syariat adalah laa haraj (tidak memberatkan umat).

Semoga ke depan, tanazul dapat diterapkan lebih luas dan lebih aman, sebagai bukti bahwa Islam adalah agama rahmat, bukan beban. Dan semoga para jamaah yang berangkat tahun ini senantiasa diberikan kekuatan, kesehatan, dan kelapangan hati untuk menjalani seluruh rangkaian manasik dengan penuh sabar dan syukur.