Kajian Islam, insanimedia.id – Ramadhan berlalu, dan Idul Fitri datang dengan sukacita. Tapi aku tahu dan mungkin kau juga bahwa tantangan sejati ada di hari-hari setelahnya.
Kajian Islam oleh : Ir. LA Mema Parandy, S.T.,M.M., CBPA. Departemen Kerjasama Wilayah Jateng, Jatim & Bali Badan Kejuruan Teknik Industri – Persatuan Insinyur Indonesia (BKTI PII 2024-2027)
Aku ingat tahun lalu, seminggu setelah Lebaran, aku sudah kembali lupa membaca Al-Qur’an. Meja makan penuh lagi, dan kesabaran yang ku jaga selama sebulan mulai retak. Godaan untuk kembali ke kebiasaan lama itu nyata dan kuat.
Hidup modern tak memberi banyak ruang untuk menjaga *fitrah*. Ada hari-hari ketika aku terlalu sibuk untuk berhenti dan bersyukur, terlalu lelah untuk peduli.
Tapi aku belajar bahwa perubahan dari Ramadan tak harus hilang. Ia seperti api kecil yang perlu terus dijaga agar tak padam. Dan aku menemukan cara untuk melakukannya.
Pertama, aku mulai dari hal kecil. Aku tak berjanji untuk membaca Al-Qur’an berjam-jam setiap hari, tapi aku usahakan satu ayat saja, dibaca dengan hati. Aku ingat betapa ayat-ayat itu memberiku damai di Ramadan, dan aku ingin rasa itu tetap ada.
Kedua, aku cari teman yang mengingatkanku pada kebaikan. Ada sahabatku yang selalu mengajakku salat berjamaah dan kebersamaan itu membantuku tetap di jalur.
Ketiga, aku biasakan diri untuk berhenti sejenak setiap hari mungkin lima menit saja dan bertanya: “Apa yang sudah kulakukan hari ini? Apa yang bisa ku perbaiki?”
Aku tak bilang ini mudah. Ada hari-hari ketika aku gagal ketika aku marah di jalan atau lupa bersyukur. Tapi aku ingat bahwa *fitrah* itu tak pernah pergi, ia hanya perlu dirawat. Ramadan memberiku fondasi, dan tugasku adalah membangun di atasnya. Dengan langkah kecil, hari demi hari, aku bisa menjaga jiwa yang ringan itu tetap hidup tidak cuma di bulan suci, tapi sepanjang tahun.
Aku pernah mendengar cerita tentang pohon yang tumbuh di tanah kering. Ia tidak besar dalam semalam. Ia butuh air, sinar matahari, dan waktu.
*Fitrah* kita juga begitu. Ramadan adalah hujan pertama yang membasahinya, tapi kita yang harus terus menyiraminya. Dan aku percaya, dengan usaha, pohon itu akan tumbuh—dan kita akan jadi orang-orang yang lebih baik.
Ramadan adalah anugerah yang tak ternilai—sebuah pintu yang Allah buka untuk membawa kita pulang ke *fitrah*. Aku ingat hari terakhir Ramadan tahun lalu, ketika aku duduk menunggu azan Magrib.
Ada rasa haru bercampur syukur aku berhasil melewati sebulan penuh, dan aku merasa berbeda. Bukan cuma tubuhku yang terasa lebih ringan, tapi juga hatiku. Aku merasa lebih hidup, lebih sadar, lebih manusiawi.
Melalui puasa, kita menemukan jiwa yang “light-minded”, jiwa yang tak lagi terbebani oleh hal-hal kecil, yang penuh syukur atas apa yang ada, dan yang peduli pada dunia di sekitarnya.
Ramadan mengajarkan kita bahwa kita punya kekuatan untuk berubah untuk melepas apa yang tak perlu dan memeluk apa yang abadi. Ia menunjukkan bahwa *fitrah* kita esensi suci yang Allah beri selalu ada, menunggu kita untuk kembali.
Aku sering membayangkan dunia yang penuh dengan “light-minded people”. Bayangkan: lebih banyak senyum di jalan, lebih banyak tangan yang terulur, lebih banyak hati yang terbuka.
Itu bukan mimpi kosong it’s possible, itu mungkin. Ramadhan memberi kita alatnya puasa, doa, kebersamaan dan terserah kita untuk menggunakannya. Bukan cuma di bulan suci, tapi di setiap hari yang kita jalani.
Aku ingat malam Idul Fitri, ketika aku duduk bersama keluarga. Ada tawa, ada cerita, ada kehangatan. Tapi yang paling kuingat adalah perasaan di hatiku—rasa damai yang tak bisa ku jelaskan.
Itulah hadiah Ramadan: ia tak cuma memberi kita hari-hari suci, tapi juga cara untuk hidup lebih baik. Ia mengajak kita untuk tak berhenti di hari raya tapi untuk menjadikan setiap hari sebagai langkah menuju jiwa yang lebih ringan, hati yang lebih lapang.
Jadi, mari kita jadikan Ramadhan sebagai awal. Bukan akhir dari sebuah kewajiban, tapi permulaan dari perubahan yang abadi. Kita punya *fitrah* karunia suci yang tak pernah hilang.
Dan kita punya Ramadan, cahaya yang membimbing kita kembali padanya. Dengan hati terbuka dan langkah penuh harapan, kita bisa membawa cahaya itu ke dalam hidup kita dan ke dunia yang menanti kebaikan kita.
Minal Aidin Walfaizin Maafkan saya lahir dan bathin atas khilaf perbuatan perkataan dan segala bentuknya. Insyaallah kita semua selalu sehat kuat bahagia berlimpah sejahtera, bahagia selalu untuk kita semua.