insanimedia.id – Di tengah derasnya arus globalisasi, umat Islam berhadapan dengan tantangan mendasar: bagaimana menjaga aqidah di tengah penetrasi ideologi sekularisme dan ateisme yang kian mendapatkan ruang dalam percakapan publik.
Sekularisme lahir dari pengalaman historis Barat yang traumatik terhadap dominasi gereja pada abad pertengahan. Dari sanalah muncul gagasan bahwa agama sebaiknya dibatasi pada ruang privat, tidak mencampuri urusan negara, politik, atau sains. Pandangan ini memang membuka jalan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir, tetapi sekaligus membawa konsekuensi: hilangnya nilai-nilai spiritual sebagai penuntun moral dalam kehidupan sosial.
Kita bisa melihat hasilnya hari ini. Kemajuan teknologi dan sains berjalan pesat, namun berbagai krisis sosial—mulai dari kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, hingga krisis identitas—juga mengemuka. Modernitas yang lahir dari sekularisme ternyata menyisakan ruang kosong dalam aspek makna hidup.
Gelombang Ateisme
Lebih jauh dari sekularisme, ateisme menolak eksistensi Tuhan sama sekali. Dalam perspektif ateis, realitas hanya diakui sejauh bisa diindra atau dibuktikan secara ilmiah. Pandangan ini berkembang pesat pada abad ke-20, seiring menguatnya pengaruh materialisme dan positivisme.
Namun, ateisme juga menghadapi pertanyaan besar. Sains memang mampu menjelaskan “bagaimana” sesuatu terjadi, tetapi belum menjawab tuntas pertanyaan “mengapa”. Dari mana asal-usul kesadaran manusia? Apa makna dari keteraturan kosmos? Apa tujuan akhir kehidupan? Banyak pemikir Barat justru kembali pada pencarian spiritual ketika menyadari keterbatasan sains menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut.
Relevansi Tauhid
Dalam situasi inilah, konsep tauhid Islam memiliki posisi penting. Tauhid tidak sekadar keyakinan teologis bahwa Allah itu Esa, melainkan pandangan hidup yang menyatukan seluruh aspek kehidupan. Dari tauhid, lahir kesadaran kosmologis bahwa alam semesta ini ciptaan Tuhan yang tunduk pada hukum-Nya; kesadaran epistemologis bahwa wahyu menjadi sumber kebenaran sekaligus pendorong akal untuk mencari ilmu; serta kesadaran aksiologis bahwa seluruh amal manusia berorientasi pada kemaslahatan.
Dengan kata lain, tauhid adalah kerangka yang menjaga keseimbangan. Ia mendorong keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus menolak penuhanan sains. Ia menghargai kebebasan manusia, tetapi tetap menempatkan norma moral sebagai batas. Ia menempatkan agama tidak hanya di ruang privat, tetapi juga sebagai etika publik yang membimbing kehidupan berbangsa dan bernegara.
Generasi Muda dan Krisis Identitas
Di era digital, tantangan bagi generasi muslim semakin kompleks. Media sosial, film, musik, dan budaya populer menjadi saluran masuknya ide-ide sekular dan ateis dengan cara yang lebih halus. Tidak jarang, anak muda mengalami kebingungan identitas antara nilai agama yang diwariskan keluarga dan nilai global yang mereka konsumsi sehari-hari.
Maka, tugas besar menanti keluarga, lembaga pendidikan, dan pemuka agama. Keluarga menjadi benteng pertama dalam menanamkan nilai tauhid sejak dini. Pendidikan agama perlu menghadirkan pendekatan yang rasional, dialogis, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Ulama dan cendekiawan dituntut untuk merumuskan narasi Islam yang segar, yang mampu berbicara dalam bahasa yang dimengerti generasi digital tanpa kehilangan kedalaman spiritualnya.
Jalan Tengah
Sekularisme dan ateisme mungkin menjadi tantangan global yang tidak mudah dielakkan. Namun, Islam dengan konsep tauhidnya menawarkan jalan tengah: mengakui capaian modernitas, tetapi menolak terjebak pada kekosongan spiritual.
Dalam lanskap dunia yang semakin terfragmentasi, tauhid dapat menjadi fondasi untuk membangun masyarakat yang berintegritas, berkeadilan, dan berorientasi pada kemaslahatan. Ia menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk biologis atau sosial, tetapi makhluk spiritual yang hidupnya bermakna hanya bila terhubung dengan Sang Pencipta.
Di tengah gelombang ideologi kontemporer yang terus bergerak, menjaga aqidah bukan sekadar urusan teologis, tetapi juga strategi peradaban. Tauhid adalah kompas moral yang menuntun umat Islam menghadapi tantangan modernitas tanpa kehilangan jati diri.