insanimedia.id- Tuduhan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan agen adu domba atau didanai oleh kekuatan asing bukanlah hal baru dalam lanskap politik Indonesia. Tuduhan semacam ini sudah digunakan sejak era Orde Baru sebagai alat untuk mendiskreditkan pihak-pihak yang kritis terhadap kekuasaan.
Kini, pola serupa kembali muncul, mengindikasikan bahwa sebagian penguasa belum benar-benar melepaskan cara berpikir represif masa lalu.
Pada masa menjelang reformasi 1998, tuduhan terhadap aktivis dan LSM sebagai agen asing atau pengacau keamanan menjadi justifikasi untuk melakukan penculikan, intimidasi, dan kekerasan terhadap mereka yang berani menyuarakan kebenaran.
Beberapa aktivis yang saat itu hilang dan hingga kini belum ditemukan adalah korban nyata dari strategi “kill the messenger” ini. Pemerintah yang tak mampu menjawab tuntutan rakyat, justru memilih menyerang mereka yang menyampaikan kritik, alih-alih memperbaiki diri.
Kini, dua dekade lebih setelah reformasi, modus serupa kembali terlihat. Ketika LSM, organisasi masyarakat sipil, jurnalis independen, atau tokoh intelektual mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai bermasalah, respons yang muncul bukan berupa klarifikasi atau diskusi terbuka, melainkan tuduhan-tuduhan murahan: didanai asing, antek luar negeri, penyebar hoaks, hingga pemecah belah bangsa.
Strategi semacam ini adalah cara paling mudah untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah utama: kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi. Ketika rakyat bicara soal kerusakan lingkungan akibat proyek strategis nasional, pelanggaran HAM oleh aparat, atau korupsi berjamaah, isu sebenarnya malah dibelokkan menjadi narasi nasionalisme sempit. Yang menyuarakan keprihatinan dianggap tidak cinta tanah air, padahal justru mereka yang benar-benar peduli terhadap masa depan bangsa.
Narasi “didanai asing” pun sering kali tak disertai bukti yang jelas, hanya disebarkan untuk membentuk opini publik yang negatif. Ironisnya, banyak institusi resmi negara juga mendapat bantuan luar negeri, mulai dari lembaga pendidikan, kementerian, hingga proyek pembangunan nasional. Tapi bantuan luar negeri hanya jadi masalah ketika dipakai oleh kelompok sipil yang mengkritik pemerintah.
Ini menunjukkan bahwa tuduhan tersebut bukan soal dana, tapi soal kendali. Mereka yang tidak bisa dikendalikan akan diserang, bukan karena mereka salah, tapi karena mereka mengganggu kenyamanan kekuasaan. Dalam konteks ini, LSM dan masyarakat sipil yang bersuara justru memainkan peran penting sebagai penjaga demokrasi.
Sudah waktunya masyarakat menyadari bahwa strategi “adu domba dan asing” adalah alat represi lama yang terus digunakan ulang. Bukan karena terbukti efektif, tetapi karena kekuasaan yang antikritik belum punya cara lain untuk mempertahankan diri selain membungkam suara. Membungkam suara, bukan menjawab persoalan.
Menghidupkan kembali tuduhan-tuduhan seperti ini sama saja dengan membuka kembali luka lama bangsa. Jika tidak hati-hati, kita bisa kembali mundur ke masa gelap, ketika kebenaran bisa dihilangkan, dan yang bertanya justru dianggap musuh. Sudah cukup korban jatuh karena negara gagal membedakan kritik dengan ancaman.