insanimedia.id , – Tahun ini, ibadah haji 1446 H/2025 M diwarnai dengan keluhan serius dari jamaah haji Indonesia. Media sosial ramai oleh kesaksian jamaah yang tak terangkut ke Arafah, serta ribuan lainnya yang terpaksa berjalan kaki sejauh 4 kilometer dari Muzdalifah menuju Mina. Hal ini tak boleh dibenarkan hanya dengan alasan “soal teknis”, karena sudah menyentuh isu kemanusiaan dan kegagalan tata kelola.
Di antara keluhan itu, banyak datang dari para lansia dan jamaah dengan kondisi kesehatan rentan. Mereka adalah tamu-tamu Allah yang semestinya mendapat pelayanan maksimal, tak boleh dibiarkan terombang-ambing tanpa kepastian transportasi. Bukankah khidmah (pelayanan) kepada tamu Allah adalah amanah yang sangat agung?
Bukan Hanya Masalah Teknis
Harus kita tegaskan, kejadian ini bukan insiden kecil akibat faktor cuaca atau padatnya jemaah. Tetapi buah dari sistem yang belum sepenuhnya tertata dan terintegrasi. Pelayanan haji adalah ekosistem besar yang melibatkan otoritas Saudi, Kementerian Agama RI, hingga Syarikah (perusahaan lokal di Arab Saudi yang ditunjuk sebagai penyedia layanan). Maka ketika jamaah terlantar dan harus berjalan kaki tanpa fasilitas yang dijanjikan, tanggung jawab tidak bisa hanya dijawab atau dibenarkan hanya dengan alasan kepadatan.
Kementerian Agama RI dan Komisi VIII DPR pun telah menyuarakan kritik serupa. Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi, dalam keterangannya menyebutkan bahwa “terlambatnya armada transportasi dari Muzdalifah menyebabkan jemaah harus berjalan kaki, yang sangat berbahaya bagi kelompok lansia.” Sementara Wakil Ketua DPR, Gus Muhaimin Iskandar, menekankan perlunya evaluasi mendalam terhadap Syarikah dan transparansi dalam kontrak layanan. (Sumber: Kompas.com, Emedia DPR RI, 2025)
Pelajaran dan Harapan
Sebagai Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI, saya melihat ini sebagai panggilan untuk evaluasi besar-besaran. Kita harus berhenti menormalisasi (menjustifikasi) kesemrawutan atas nama “kondisi lapangan”. Sudah saatnya Indonesia, dengan jumlah jamaah terbesar di dunia, menuntut keseriusan layanan dan transparansi penuh dari mitra-mitra internasional. Di sisi lain, pemerintah dan kemenag serta Badan Pengelola Haji harus berani mendorong reformasi sistemik: dari perencanaan hingga pengawasan layanan di Tanah Suci.
Saya mengajak semua pihak untuk berpikir dari kacamata jamaah. Bayangkan jika itu adalah orang tua kita sendiri yang harus berjalan kaki, tanpa kepastian, tanpa fasilitas dasar. Di mana letak rahmatan lil ‘alamin jika tamu Allah diperlakukan tanpa kepastian dan rasa hormat?
Amanah Akan Dipertanggungjawabkan
Pengelolaan dan pelayanan Haji bukan sekadar mengelola jutaan orang. Tetapi sebuah amanah. Dan amanah akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di dunia tapi di hadapan Allah SWT. Karena itu, kita perlu mengubah paradigma: dari sekadar “mengirim jamaah” menjadi “melayani ibadah secara bermartabat”.
Mari kita tidak menyia-nyiakan kritik dan jeritan para jamaah tahun ini. Jadikan ia sebagai pelajaran, cermin, dan titik tolak perbaikan layanan haji di masa depan. Karena sejatinya, siapa pun yang membantu tamu Allah, berarti sedang membantu dirinya sendiri untuk lebih dekat dengan ridha-Nya.
Dan, jangan-jangan itulah motif serta salah satu implementasi visi-misi-tujuan dibentuknya asosiasi haji. Menjadi mitra pemerintah yang baik dalam membangun tatakelola dan ekosistem haji yang prima, inklusif, dan melayani dengan sungguh-sungguh.