Tunjangan DPR 2025: Fakta, Klarifikasi, dan Kemarahan Publik

Penulis : Mohammad Isyamuddin, S.H. Kader HmI Cabang Ciputat

Ridwan

insanimedia.id – Isu mengenai pendapatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat pada Agustus 2025. Publik digegerkan dengan pernyataan seorang anggota DPR, TB Hasanuddin, yang menyebut bahwa take-home pay seorang anggota legislatif bisa mencapai Rp100 juta per bulan.

Pernyataan tersebut kemudian dipersempit oleh media dengan angka Rp3 juta per hari, memantik gelombang kritik dan kemarahan masyarakat. Di tengah situasi ekonomi yang masih berat pasca-pandemi dan angka kemiskinan yang belum turun signifikan, isu pendapatan fantastis para wakil rakyat menjadi sorotan tajam.

Fakta: Gaji Pokok Kecil, Tunjangan Membengkak

Secara hukum, gaji pokok anggota DPR masih merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000. Berdasarkan regulasi itu, gaji pokok anggota DPR hanyalah Rp4,2 juta per bulan. Angka ini bahkan lebih kecil dari Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang berada di kisaran Rp5,3 juta. Dengan demikian, secara nominal, gaji pokok seorang anggota DPR justru lebih rendah dari buruh atau pegawai biasa di ibu kota.

Namun, yang membuat penghasilan DPR membengkak adalah tunjangan dan berbagai fasilitas tambahan. Menurut catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), anggota DPR menerima beragam tunjangan: tunjangan istri dan anak, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan fungsi pengawasan dan anggaran, serta bantuan listrik, telepon, asisten, dan transportasi. Nilai tunjangan ini jika diakumulasi mencapai puluhan juta rupiah per bulan.

Khusus pada 2025, polemik muncul karena adanya perubahan skema fasilitas rumah jabatan. Alih-alih mendapat rumah dinas, anggota DPR kini memperoleh tunjangan perumahan sekitar Rp50 juta per bulan. Komponen ini yang membuat total penghasilan bisa melampaui Rp100 juta per bulan, sebagaimana diklaim sendiri oleh sebagian anggota DPR.

Baca Juga :  Fatwa Ulama Muslim Internasional: Analisis dan Peran Indonesia dalam Mendukung Gaza Palestina

Klarifikasi: “Bukan Kenaikan Gaji, Hanya Tunjangan Rumah”

Setelah isu ini menyebar luas, pimpinan DPR mencoba meluruskan. Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan bahwa tidak ada kenaikan gaji pokok. Menurutnya, perubahan yang terjadi hanya soal fasilitas: rumah dinas diganti menjadi tunjangan perumahan. Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, juga menyampaikan bahwa kebijakan ini dipandang lebih fleksibel dan tidak membebani anggaran negara dengan biaya pemeliharaan rumah jabatan.

Namun, klarifikasi ini tidak serta-merta meredakan kemarahan publik. Bagi masyarakat, perdebatan soal istilah “gaji” atau “tunjangan” tidak terlalu penting. Yang lebih dipersoalkan adalah nominal yang begitu besar, kontras dengan kondisi ekonomi rakyat. Ketika sebagian besar masyarakat masih berjuang menghadapi kenaikan harga pangan, sulitnya lapangan kerja, dan stagnasi upah, mendengar anggota DPR bisa membawa pulang lebih dari Rp100 juta per bulan terasa sangat tidak adil.

Kemarahan Publik: Ketidakadilan yang Kasatmata

Kemarahan publik terhadap isu tunjangan DPR 2025 tidak datang tanpa sebab. Pertama, masyarakat merasa penghasilan fantastis para wakil rakyat tidak sebanding dengan kinerja legislatif. Tingkat kepercayaan publik terhadap DPR selama ini memang rendah, dengan banyak kritik terkait absensi rapat, kualitas legislasi, hingga praktik korupsi yang kerap menjerat anggota dewan.

Kedua, perbandingan dengan kondisi ekonomi rakyat kecil semakin memperlebar jurang persepsi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan per Maret 2025 masih berada di sekitar 9,2 persen, setara lebih dari 25 juta penduduk Indonesia. Di sisi lain, buruh pabrik dengan gaji setara UMP sekitar Rp5 juta per bulan harus bekerja penuh waktu, sementara anggota DPR yang disebut-sebut menerima Rp3 juta per hari justru kerap dikritik absen rapat.

Ketiga, publik juga menilai adanya ketidakpekaan politik. Di tengah situasi fiskal negara yang menantang, dengan utang pemerintah masih tinggi dan defisit APBN yang ketat, justru DPR terlihat menikmati fasilitas yang semakin mewah. Hal ini menimbulkan kesan bahwa elite politik lebih mementingkan kenyamanan pribadi daripada pengabdian kepada rakyat.

Baca Juga :  Cina Melarang AI di SD, Lalu Bagaimana di Indonesia?

Mengembalikan Kepercayaan Publik

Kritik publik terhadap isu tunjangan DPR 2025 seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki sistem remunerasi pejabat negara. Transparansi menjadi kunci. Selama ini, publik hanya mendapat potongan informasi: gaji pokok kecil, tunjangan besar, atau klaim anggota dewan tentang jumlah yang ia terima. Seharusnya DPR bersama pemerintah membuka rincian resmi yang jelas, agar tidak lagi menimbulkan tafsir liar.

Selain itu, penilaian kinerja harus menjadi basis pemberian tunjangan. Di banyak negara, anggota parlemen mendapat insentif berbasis kinerja, misalnya kehadiran rapat, produktivitas legislasi, dan kontribusi dalam pengawasan. Jika sistem semacam ini diterapkan, publik akan melihat bahwa penghasilan DPR benar-benar sebanding dengan kerja keras mereka.

Yang tidak kalah penting adalah soal kepekaan sosial. DPR seharusnya menahan diri untuk tidak membuat pernyataan yang kontraproduktif. Klaim bahwa penghasilan mencapai Rp100 juta per bulan atau Rp3 juta per hari memang benar secara angka, tetapi penyampaiannya di ruang publik tanpa konteks hanya akan melukai perasaan masyarakat.

Penutup

Isu tunjangan DPR 2025 menjadi gambaran nyata tentang jurang antara elite politik dan rakyat. Di satu sisi, gaji pokok anggota DPR memang kecil, tetapi tunjangan yang melekat membuat penghasilan mereka fantastis. Klarifikasi bahwa tidak ada kenaikan gaji pokok pun tidak banyak berarti di mata publik. Pada akhirnya, yang dirasakan masyarakat adalah ketidakadilan: wakil rakyat bergelimang fasilitas, sementara rakyat banyak masih bergulat dengan kesulitan ekonomi.

DPR perlu menyadari bahwa legitimasi mereka tidak hanya ditentukan oleh peraturan perundangan, tetapi juga oleh rasa keadilan publik. Transparansi, akuntabilitas, dan kepekaan sosial harus menjadi dasar dalam menyikapi isu pendapatan. Tanpa itu, setiap rupiah yang diterima anggota DPR akan terus menjadi sumber kemarahan, bukan penghormatan.

Baca Juga :  Pentingnya Revitalisasi Kaderisasi HmI agar Relevan Berkontribusi untuk Bangsa