insanimedia.id – Fenomena pengibaran bendera One Piece simbol Jolly Roger dari serial manga/anime populer belakangan menjadi sorotan tajam di Indonesia. Bagi sebagian pejabat, simbol ini dianggap menodai kesakralan simbol negara, bahkan dikategorikan sebagai ancaman.
Namun dari sudut lain, banyak pihak menilainya sebagai bentuk ekspresi kreatif dan protes sosial yang perlu dipahami secara lebih mendalam. Perdebatan ini menyentuh soal batas kebebasan berekspresi, makna simbol nasional, dan cara negara merespons keresahan generasi muda.
Secara hukum, pengibaran bendera fiksi semata tidak otomatis memenuhi unsur pidana. Tidak ada ketentuan eksplisit yang melarang bendera bertema budaya pop, sehingga penindakan terhadap pengibar Jolly Roger berisiko bertentangan dengan prinsip legalitas dan kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 1945 serta instrumen HAM internasional yang diratifikasi Indonesia. Ancaman sanksi pidana dan razia menunjukkan adanya kecenderungan memperluas tafsir hukum ke wilayah yang belum diatur secara tegas.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan “Kami menyayangkan dan menyesalkan kalau ada pelarangan, respons yang berlebih, kemudian sampai ada penghapusan, penangkapan, itu tidak boleh dilakukan,” tuturnya.
Ia menilai pengibaran itu sebagai ekspresi simbolik warga negara yang dijamin konstitusi, terlebih di bulan kemerdekaan.
Nada serupa disampaikan Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira. “Ini menjadi bagian dari hak asasi manusia, sebagai bentuk kebebasan dalam menyampaikan aspirasi dan kegelisahan masyarakat,” ujarnya.
Bagi Andreas, simbol ini adalah cara rakyat menyampaikan pesan politik yang harus dibaca sebagai bahan introspeksi.
Di sisi HAM, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik respons pemerintah:
“Respons pemerintah dan aparat menyikapi fenomena pengibaran bendera ‘One Piece’ apalagi yang disertai ancaman pidana, sangatlah berlebihan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa razia dan intimidasi adalah bentuk perampasan kebebasan berekspresi, dan negara seharusnya fokus pada akar keresahan warga.
Namun, pandangan yang lebih konservatif juga muncul. Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan:
“Pelarangan pengibaran bendera tersebut adalah upaya penting menjaga simbol-simbol nasional sebagai wujud penghormatan terhadap negara,” kata Pigai.
Baginya, larangan ini sejalan dengan hukum nasional dan internasional demi menjaga integritas dan stabilitas negara.
Menko Polhukam Budi Gunawan menambahkan bahwa simbol asing seperti Jolly Roger tidak layak disandingkan dengan Merah Putih karena dapat mencederai kehormatan nasional, terlebih di momen peringatan kemerdekaan.
Di sisi lain, ada suara yang meremehkan kekhawatiran itu. Titiek Soeharto, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, mengatakan:
“Enggaklah, kita negara besar, itu hanya masalah ecek-ecek lah, enggak usah ditanggapi,” ucapnya.
Ia menilai negara punya pekerjaan rumah yang lebih besar, seperti memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pun menepis isu razia. “Enggak ada itu (razia),”ungkapnya.
Ia menekankan pemerintah tidak mempermasalahkan bentuk kritik simbolik selama tidak menggeser makna kemerdekaan dan kesakralan bendera negara.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana generasi muda menegosiasikan identitas politik mereka. Simbol One Piece dipilih bukan karena kebencian terhadap negara, melainkan karena narasinya tentang perlawanan terhadap penindasan, solidaritas, dan kebebasan memiliki resonansi emosional. Simbol pop culture menjadi saluran kritik yang mudah dipahami, dibagikan, dan diikuti, apalagi di era media sosial yang serba visual dan viral.
Namun, menjaga keseimbangan tetap penting. Bendera Merah Putih memiliki nilai historis dan fungsi simbolik yang sangat penting dalam memupuk rasa kebangsaan. Ekspresi alternatif harus dijalankan dengan sensitivitas agar tidak menimbulkan persepsi merendahkan simbol negara. Kekhawatiran muncul jika simbol alternatif ini sengaja diposisikan untuk menantang sentimen kolektif.
Pendekatan negara dalam merespons fenomena ini akan menentukan arahnya. Respons yang terlalu keras berpotensi memperkuat Jolly Roger sebagai lambang perlawanan.
Sebaliknya, dialog terbuka dapat mengubah simbol ini dari pemicu konflik menjadi jembatan komunikasi antara negara dan generasi muda. Memahami latar belakang munculnya tren ini mulai dari keresahan ekonomi, ketimpangan sosial, hingga terbatasnya ruang partisipasi politik adalah kunci.
Langkah ke depan dapat dimulai dengan tiga hal. Pertama, menempatkan penegakan hukum pada porsi yang proporsional: hanya menindak pelanggaran nyata, bukan simbolisme pasif.
Kedua, membuka kanal komunikasi yang melibatkan komunitas kreatif dan generasi muda. Ketiga, mendorong media dan masyarakat sipil untuk menerjemahkan simbol-simbol ini menjadi tuntutan kebijakan yang konkret.
Fenomena bendera One Piece adalah gejala sosial yang menunjukkan bagaimana nasionalisme generasi muda berkembang: tidak melulu lewat upacara dan seremoni, tetapi juga melalui simbol global yang mereka maknai ulang. Menyebutnya sebagai ancaman negara terlalu menyederhanakan realitas. Nasionalisme di era ini menuntut keterbukaan, kemampuan beradaptasi, dan ruang dialog bukan sekadar larangan.