insanimedia.id – Demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Indonesia pada 29 Agustus 2025 menandai salah satu titik balik penting dalam sejarah demokrasi pasca-reformasi. Ribuan hingga ratusan ribu orang turun ke jalan di berbagai kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, hingga Tangerang.
Mereka tidak sekadar berkumpul untuk menyampaikan pendapat, tetapi menyuarakan amarah yang sudah lama terpendam terhadap wajah politik dan ekonomi yang dianggap semakin tidak adil.
Di Jakarta, gelombang protes dipicu oleh tragedi memilukan: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob ketika aparat berusaha membubarkan massa. Video peristiwa itu tersebar luas, memantik simpati sekaligus kemarahan publik.
Amnesty International dengan cepat merilis pernyataan, menuntut pertanggungjawaban Presiden dan Kapolri atas kematian Affan. Tragedi ini menjadi simbol baru tentang bagaimana negara seringkali abai terhadap nyawa rakyat kecil.
Namun, protes kali ini tidak hanya tentang Affan. Ia hanyalah pemicu dari api yang sudah lama membara. Isu tunjangan DPR yang fantastis di tengah kondisi rakyat yang kian sulit memperburuk amarah massa. Warga merasa diabaikan ketika harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja sulit, dan kebijakan ekonomi tidak berpihak.
Seorang ekonom dari CELIOS menegaskan, “Aksi ini murni lahir dari kondisi domestik, bukan intervensi asing.” Ungkapan itu penting, sebab selama ini pemerintah kerap menuduh aksi massa ditunggangi kepentingan luar. Faktanya, rakyat sudah muak dengan jurang yang semakin dalam antara mereka dan para wakil di Senayan.
Di Makassar, situasi bahkan lebih tragis. Gedung DPRD dibakar, tiga orang meninggal dunia, dan puluhan lainnya luka-luka. Di Jakarta, MRT terpaksa menutup beberapa stasiun dan membatasi operasional. Kota-kota besar lumpuh sejenak, menyaksikan bagaimana suara rakyat menjelma menjadi kemarahan kolektif yang tak terbendung.
Ketika DPR Kabur di Saat Genting
Ironi terbesar muncul ketika rakyat berjuang di jalan, namun sebagian wakilnya justru memilih meninggalkan tanah air. Nama pertama yang ramai diperbincangkan adalah Ahmad Sahroni, mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem.
Dua hari sebelum puncak aksi, tepatnya pada 27 Agustus 2025, ia diduga kabur ke Singapura. Sebuah foto yang menampilkan dirinya duduk santai di bandara, sibuk dengan ponselnya sambil menunggu penerbangan, menyebar cepat di media sosial. Netizen pun bereaksi keras, menyebutnya pengecut, lari dari tanggung jawab ketika rakyat menuntut keadilan.
Tidak berhenti di situ, Eko Patrio, anggota DPR yang juga mantan komedian, dikabarkan berada di Tiongkok. Isu yang beredar menyebutnya tengah “asyik belanja barang palsu” di luar negeri. Meski sulit diverifikasi sepenuhnya, narasi ini cukup untuk menambah bara kemarahan publik. Simbolnya jelas: ketika rakyat menanggung gas air mata, para elit malah berbelanja dan bersenang-senang.
Pertanyaannya kemudian: apa arti menjadi wakil rakyat jika pada momen paling kritis, justru meninggalkan rakyat yang diwakili? Inilah inti krisis legitimasi yang kini dihadapi DPR. Tindakan kabur itu bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan pengkhianatan politik.
Krisis Kepercayaan yang Mengakar
Kabar kaburnya anggota DPR semakin memperparah krisis kepercayaan yang sebenarnya sudah mengakar lama. Survei demi survei menunjukkan, DPR termasuk salah satu lembaga dengan tingkat kepercayaan publik terendah. Isu korupsi, praktik politik uang, hingga gaya hidup mewah membuat citra parlemen jauh dari harapan rakyat.
Kasus kaburnya anggota DPR ke luar negeri mengingatkan publik pada sejarah kelam sebelumnya. Kita pernah menyaksikan bagaimana Harun Masiku, politikus PDIP yang menjadi tersangka korupsi suap KPU pada 2020, “hilang” dan diduga kabur ke luar negeri.
Begitu pula beberapa buronan KPK yang hingga kini belum tertangkap. Dalam kasus tersebut, publik sudah marah karena elit memilih lari daripada menghadapi hukum. Kini, lebih buruk lagi: anggota DPR kabur bukan untuk menghindari pengadilan, melainkan untuk menghindari rakyatnya sendiri.
Situasi ini menciptakan luka kolektif. Bagaimana rakyat bisa percaya pada parlemen, jika pada saat paling genting, wakil rakyat tidak hadir? Luka ini bisa berkembang menjadi trauma politik: rakyat semakin tidak percaya pada mekanisme perwakilan, dan pada akhirnya, demokrasi itu sendiri.
Respons Pemerintah: Setengah Hati?
Presiden Prabowo Subianto sudah menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Affan dan memerintahkan investigasi. Tujuh polisi dilaporkan ditahan terkait kasus ini. Namun langkah tersebut dianggap terlalu lambat dan tidak menyentuh akar masalah. Bagi banyak orang, tragedi Affan hanyalah puncak dari gunung es kekerasan aparat yang dibiarkan begitu lama tanpa reformasi serius.
Sementara itu, DPR sendiri hampir tidak terdengar suaranya. Alih-alih menjadi mediator atau jembatan, banyak anggotanya justru bungkam atau, lebih parah, kabur keluar negeri. Kondisi ini menciptakan kesan bahwa rakyat dibiarkan sendirian menghadapi negara. Padahal, fungsi utama DPR adalah menjadi penyambung aspirasi, bukan sekadar perpanjangan tangan partai politik.
Ketika rakyat tidak menemukan saluran formal yang dapat dipercaya, mereka akan menciptakan jalannya sendiri: turun ke jalan, membakar simbol negara, hingga melawan aparat. Jika pola ini terus berulang, stabilitas politik bisa runtuh sewaktu-waktu.
Makna Historis: Dari Reformasi ke Disorientasi
Jika menengok sejarah, demonstrasi besar seringkali menjadi tonggak perubahan. Reformasi 1998 lahir dari gelombang aksi mahasiswa dan rakyat yang menumbangkan rezim Orde Baru. Namun, 27 tahun setelah itu, rakyat kembali bertanya: untuk apa semua pengorbanan jika DPR hari ini justru mengkhianati semangat reformasi?
Reformasi menjanjikan keterbukaan, demokrasi, dan perwakilan rakyat yang kuat. Kenyataannya, parlemen justru berubah menjadi arena oligarki, tempat elit politik bersekongkol dengan pengusaha untuk membagi kekuasaan. Isu kaburnya anggota DPR ke luar negeri hanyalah puncak dari masalah sistemik yang lebih besar: politik yang kehilangan orientasi.
Jika kondisi ini tidak dibenahi, Indonesia berpotensi mengalami siklus krisis kepercayaan yang berulang. Rakyat bisa jadi semakin apatis, atau justru semakin radikal dalam mengekspresikan aspirasi. Keduanya sama-sama berbahaya bagi kelangsungan demokrasi.
Penutup: Demokrasi di Persimpangan
Demo 29 Agustus 2025 adalah peringatan keras. Ia menunjukkan bahwa rakyat masih peduli, masih bersuara, dan masih berani melawan ketidakadilan. Namun pada saat yang sama, ia juga memperlihatkan betapa dalamnya krisis legitimasi lembaga-lembaga negara, terutama DPR.
Ahmad Sahroni di Singapura, Eko Patrio di Tiongkok—dua nama yang kini menjadi simbol betapa jauh jurang antara rakyat dan wakilnya. Mereka mungkin hanya sebagian kecil dari ratusan anggota DPR, tetapi simbolisme itu kuat: wakil rakyat yang kabur ketika rakyat berjuang.
Jika DPR tidak segera mereformasi diri, memperbaiki akuntabilitas, dan berani berhadapan langsung dengan rakyat, maka lembaga ini bisa kehilangan legitimasi secara permanen. Demokrasi pun akan tinggal nama: prosedur ada, pemilu digelar, tetapi kepercayaan rakyat lenyap.
Pertanyaan mendasarnya kini bukan lagi sekadar siapa yang kabur, melainkan: apakah DPR masih pantas disebut wakil rakyat? Jika jawabannya tidak, maka demonstrasi 29 Agustus 2025 bisa jadi bukan akhir, melainkan awal dari gelombang perlawanan rakyat yang lebih besar.