Di Rumah Tua Penuh Lubang, Saksi Nenek Sudarti Bertarung dengan Dingin dan Hujan

Ridwan

Banyumas, insanimedia.id – Dinginnya musim kemarau basah yang terjadi di Pulau Jawa beberapa hari ini, tidak mampu dibendung dengan dinding dari papan kayu rumah milik Sudarti. Hembusan angin malam juga masuk ke dalam rumah melalui atap yang berlubang dan menyapa kulit nenek 67 tahun ini.

Dinginnya malam tidak mampu dibendung oleh nenek warga Desa Banjarsari, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini. Apalagi sang suami, Suhud sudah pergi menghadap sang Khalik sejak beberapa tahun yang lalu.

Tidak hanya ancaman dinginnya malam. Rada was-was saat hujan turun selalu menghantui saat musim penghujan tiba. Air hujan kerap masuk ke dalam rumahnya melalui celah-celah genting yang berongga dan termakan usia.

Sudarti mencoba menyembunyikan rasa pilu dalam hidup dibalik kulitnya yang mengeriput. Kulitnya yang nampak legam terbakar sinar matahari menjadi saksi kerasnya berjuang untuk bertahan hidup.

“Kalau hujan, air masuk dari mana-mana. Kadang saya takut sendiri. Tapi saya harus kuat,” ucap Sudarti pelan, sembari menatap langit-langit rumahnya yang bolong.

Lantai dari tanah tidak pernah berubah sejak mereka membangun rumah pertama kali. Tidak pernah berpikir untuk tinggal di rumah gedongan, mampu bertahan dan rumah tidak roboh hingga akhir hayatnya, sebuah mujizat baginya.

“Atap bocor sewaktu-waktu bisa roboh,” ucapnya lirih.

Dinding Rumah Nenek Sudarti
Dinding Rumah Nenek Sudarti

Meski jauh dari kata aman, apalagi mewah, rumah inilah menjadi saksi kebersamaannya dengan Suhud suami tercinta. Di dalam rumahnya yang paling nyaman baginya, Sudarti menggenang suaminya yang bekerja keras untuk hidupnya.

Sudarti mencintai dengan tulus Suhud suaminya. Tidak banyak janji-janji manis yang disampaikan oleh Suhud. Yang Sudarti tahu, Suhud mau bekerja apapun asal mereka bisa makan.

“Dulu kerjaannya Suhud ya serabutan di ladang orang. Dapat uang ya sekadarnya,” ujarnya.

Baca Juga :  Dukung Ketahanan Panangan, Lahan 1,7 Haktare Polres Blitar Kota Disulap jadi Lahan Pertanian

Kini di usia yang senja, Sudarti harus berjuang seorang diri. Matanya nampak berkaca saat mengenang kebersamaan dengan suami tercinta.

Terkadang air matanya tidak sadar terjatuh di lantai tanah rumahnya. Sudarti membiarkannya, karena tahu tanah akan menyerap dengan cepat air matanya sebanyak apapun yang jatuh membasahi bumi.

Sudarti dan Suhud sebenarnya memiliki tiga orang anak hasil buah kasih mereka. Namun dua anaknya merantau yang juga hidup dalam keterbatasan.

Sementara satu anaknya juga harus berjuang menghidupi keluarganya dengan tiga cucunya. Tidak jarang Sudarti masih diminta warga yang memiliki lahan untuk membantu di ladang.

Upah ala kadarnya, Ia gunakan untuk menyambung hidup. Cukup buat makan saja rasanya penuh syukur. Sudarti tidak pernah berani bermimpi memiliki rumah yang benar-benar layak untuk dihuni.

Sudarti tidak punya nyali untuk berharap bantuan baik pemerintah ataupun orang lain. Yang Ia mau, kaki dan punggungnya masih selalu kuat untuk menyangga tubuhnya untuk tetap dapat bekerja. (Joe/Rid)