Pengamat : UU TNI Perkuat Pertahanan Nasional, namun Pembahasan di Hotel di Luar Kewajaran

Blitar, insanimedia.id – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Blitar menggelar Sarasehan Hitam Putih UU TNI di Rumah Djajan Aliza, Kota Blitar, Selasa (29/04/2025). Sarasehan yang diikuti berbagai jurnalis dan mahasiswa ini dengan menghadirkan dua narasumber yakni, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Balitar (Unisba) Blitar, Abdul Hakam Sholahiddin dan Ketua LSM Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) Jaka Prasetya.

Ketua IJTI Korda Blitar, Robby Ridwan mengatakan, kegiatan ini digelar untuk menindaklanjuti beberapa aksi yang digelar oleh mahasiswa yang ada di berbagai daerah termasuk di Blitar beberapa waktu yang lalu. Pendidikan politik terhadap warga merupakan bagian tugas media di dalam demokrasi Indonesia.

Ada berbagai kejanggalan dalam pengesahan UU TNI karena rapat pembahasannya di lakukan di hotel tidak di gedung dewan. Selain itu, peran masyarakat yang harusnya terlibat dalam penyusunan RUU TNI ini juga tidak terlihat langsung.

Selain itu, penambahan institusi negara yang dapat ditempati oleh prajurit TNI juga bertambah dari 10 institusi negara. Di era demokrasi seperti ini, IJTI menganggap penting untuk memberikan wawasan bagi masyarakat agar demokrasi tetap dapat dikawal.

“Kurangnya meaningful participation (mempertimbangkan tanggapan masyarakat) dalam pembahasan RUU ini menjadi catatan. Dikhawatirkan DPR akan kembali menggunakan pola yang sama dalam menyusun RUU yang lain,” ungkap Robby, Selasa (29/04/2025).

Sementara itu, Ketua LSM GPI, Jaka Prasetya melihat dari sudut pandang yang berbeda dalam pengesahan RUU TNI ini menjadi UU nomor 3 tahun 2025. Saat ini kondisi Indonesia tengah menghadapi berbagai ancaman baik dari dalam dan luar negeri.

Ia mencontohkan, bahwa ancaman saat ini tidak hanya peperangan, namun adanya ancaman narkoba. Dikatakannya, bahwa TNI yang memiliki tiga mantra yakni darat, udara, dan laut memiliki kewajiban untuk menjaga masuknya peredaran narkoba.

Ia mencontohkan, bahwa banyak narkoba yang masuk ke dalam negeri melalui jalur laut. Sementara itu, TNI AL juga kerap menggagalkan penyelundupan narkoba lewat laut, akan tetapi temuan ini tidak dapat ditindaklanjuti karena TNI tidak memiliki kewenangan untuk menindak.

Adanya UU nomor 3 tahun 2025 ini, memberikan kewenangan bagi TNI untuk turut serta menindak adanya potensi penyelundupan narkoba di Indonesia. Tentunya dalam pelaksanaannya nanti, TNI perlu dikawal dan diawasi oleh masyarakat agar dapat berjalan sesuai dengan tugasnya.

Meski demikian, ia menyatakan perlunya kerjasama dengan penegak hukum yang lain dalam melaksanakan penegakan hukum saat melakukan pemberantasan narkoba. “Kita tahu bahwa selain Polri juga ada BNN yang melakukan pemberantasan narkoba. Di BNN tidak hanya anggota Polri yang bertugas di BNN, tapi ada warga sipil yang ada di BNN,” tegasnya.

Jaka menilai, adanya tambahan enam institusi yang dapat ditempati oleh prajurit aktif tidak dalam posisi mengancam masyarakat sipil. Sebab prajurit TNI nanti tetap akan berkolaborasi dengan warga sipil dalam pelaksanaan di dalam institusi tersebut.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unisba Blitar, Abdul Hakam Sholahuddin menilai tidak ada yang salah dalam pembentukan RUU TNI ini. Semua prosedur yang ada di DPR sudah dilakukan sesuai dengan mekanisme penyusunan RUU.

Meski demikian, ada kejanggalan ketika penyusunan RUU TNI ini dilakukan di dalam hotel bintang lima. “Secara konstitusi tidak ada yang dilanggar, namun saat pembahas RUU TNI di hotel bintang lima ini apakah diperbolehkan atau tidak biarkan majelis kehormatan dewan yang melakukan pemeriksaan,” tegasnya.

Ia juga sepakat bahwa, saat ini peran TNI perlu diperkuat dalam sistem pertahanan. TNI memiliki tugas dalam menjaga stabilitas negara. Meski demikian hak-hak individu dan kebebasan sipil tetap harus dijamin,” ungkapnya.

Mantan anggota Bawaslu Kabupaten Blitar ini menilai wajar jika ada kekhawatiran dari masyarakat saat peran militer di ranah lembaga negara. Sebab masyarakat akan khawatir peran militer ini dapat menggangu pengembangan sistem demokrasi yang mengedepankan partisipasi masyarakat sipil.

“Ini memerlukan pengawasan bersama karena amanah reformasi 98 dalam demokrasi konstitusi tertinggi di tangan rakyat. Salah satunya pemilihan presiden juga dilakukan oleh masyarakat,” ujarnya. (Oby)