insanimedia.id – Gelombang demonstrasi di Jakarta dan berbagai kota besar pada akhir Agustus 2025 sudah lewat. Namun sisa getarannya masih terasa di ruang publik. Debu belum sepenuhnya reda, tapi pertanyaan justru semakin mengeras: benarkah aksi itu murni suara rakyat? Ataukah ia telah diseret, dibelokkan, bahkan dimanfaatkan oleh tangan-tangan yang tak terlihat?
Di siang hari, ribuan mahasiswa dan buruh memadati jalanan dengan orasi, spanduk, dan tuntutan yang relatif tertib. Tetapi saat malam turun, wajah aksi berubah drastis. Di banyak titik muncul kelompok yang tidak dikenali. Mereka tidak membawa poster tuntutan, melainkan bensin dan batu. Gedung-gedung dilempari, fasilitas umum dibakar. Aparat menyebutnya sebagai “massa tak dikenal” (Liputan6.com).
Dari sinilah kejanggalan pertama mencuat: mengapa siang dan malam begitu berbeda, seakan dua lakon dalam satu panggung?
Kejanggalan kedua bahkan lebih pelik. Pola kerusuhan hampir identik di sejumlah kota: kantor DPRD terbakar, rumah tokoh politik dilempari, gedung pemerintah dirusak. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan.
Media internasional pun menangkap aroma itu. Reuters dan Washington Post menyebut ada kesan orkestrasi, bukan cuma spontanitas massa. Jika benar demikian, siapa dirigen di balik orkestra ini?
Lalu, peristiwa tragis yang mengguncang hati publik: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas setelah tertabrak kendaraan taktis polisi. Satu nyawa melayang di tengah kerumunan. Tiba-tiba sorotan publik berbalik. Aparat dikritik karena dianggap terlalu reaktif.
Media asing seperti The Australian mencatat, tragedi itu justru memperbesar bara ketidakpercayaan pada negara. Bukankah SOP pengamanan seharusnya mencegah jatuhnya korban sipil?
Tak kalah mencolok, medan digital menjelma menjadi arena tempur. Pemerintah sampai memanggil TikTok dan Meta karena konten provokatif dan disinformasi yang berseliweran. Ada video deepfake yang viral, ada narasi bombastis yang menyebar lebih cepat dari klarifikasi.
Reuters mencatat, gelombang digital ini bukan hanya memperluas informasi, tapi juga memperkeruh realitas. Faktanya, batas antara aspirasi dan agitasi makin kabur di layar ponsel.
Terjadilah perbedaan mencolok antara data resmi dan laporan lapangan. Angka korban luka, jumlah massa, kronologi insiden, semua berbeda tergantung siapa yang bicara. Antara News memberi versi satu, ABC Australia memberi versi lain. Perbedaan itu menimbulkan ruang kosong, dan ruang kosong itu segera diisi oleh spekulasi liar. Itulah kejanggalan keenam.
Dan jangan lupakan bendera bajak laut One Piece yang tiba-tiba berkibar di tengah aksi. Sekilas tampak remeh, bahkan menggelikan. Tetapi simbol semacam itu menimbulkan kesan teatrikal, seolah ada desain visual agar demo lebih “instagrammable” daripada substansial. Sebuah orkestra gambar yang mengaburkan isi tuntutan.
Jika kita tarik benang merahnya, aksi Agustus bukan cuma unjuk rasa. Tetapi panggung dengan lapisan kejanggalan: penyusupan massa, koordinasi tersembunyi, tragedi kemanusiaan, disinformasi digital, narasi yang tak sinkron, hingga simbol visual yang menghibur sekaligus menyesatkan.
Lalu apa maknanya bagi bangsa ini?
Pertama, bahwa demokrasi kita sedang diuji. Bukan hanya oleh rakyat yang marah, tetapi juga oleh “penunggang gelap” yang piawai menunggangi kemarahan itu.
Kedua, bahwa pemerintah wajib membuka ruang investigasi independen. Sumber logistik harus ditelusuri, struktur koordinasi massa harus dipetakan, tindakan aparat harus diaudit. Tanpa transparansi, kepercayaan hanya akan makin runtuh.
Dan yang ketiga, bahwa publik sendiri harus lebih jernih. Mahasiswa, akademisi, tokoh sipil, semua ditantang untuk memisahkan aspirasi murni dari manipulasi. Karena bila kita gagal membedakan keduanya, kita sedang membuka pintu bagi demokrasi palsu, demokrasi yang dikendalikan oleh bayangan.
Akhirnya, pertanyaan tetap menggantung: apakah kejanggalan-kejanggalan ini tanda adanya retakan di dalam tubuh kekuasaan, yang sengaja ditampilkan di jalanan? Ataukah justru alarm bahwa aksi massa ke depan akan dibatasi, karena dianggap rawan ditunggangi? Atau lebih getir lagi: bahwa suara rakyat yang tulus sudah dibegal mentah-mentah oleh kelompok tertentu?
Kita tidak tahu pasti. Yang kita tahu: bangsa ini sedang menapaki jalur licin. Licin oleh emosi, oleh disinformasi, oleh ketidakpercayaan. Bila kita terpeleset, biayanya akan mahal: hilangnya arah demokrasi, dan hilangnya harapan.
Indonesia harus belajar dari Agustus 2025. Belajar bahwa aspirasi tanpa kewaspadaan bisa dikebiri. Belajar bahwa kekuasaan tanpa transparansi bisa memicu tragedi. Dan belajar bahwa rakyat yang cerdas adalah benteng terakhir demokrasi.
Semoga, dari semua kejanggalan itu, lahir sebuah kesadaran baru: bahwa bangsa ini hanya bisa tegak bila aspirasi dijaga dari para pembajak.