insanimedia.id , – Bayangkan ini: seorang jemaah lansia baru pertama kali pergi ke tanah suci. Ia berangkat sendiri, mengurus visa sendiri, pesan hotel via aplikasi, dan berharap bisa beribadah dengan tenang. Tapi setibanya di Mekkah, hotelnya full, penuh, overbooked, dan dia tidak tahu arah Masjidil Haram, dan tidak ada yang bisa dimintai tolong.
Itulah potensi masa depan jika umrah mandiri dilegalkan begitu saja tanpa pagar-pagar regulasi yang ketat.
Wacana legalisasi umrah mandiri sedang menggelinding pelan tapi pasti di RUU baru soal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Sepintas, kesannya modern. Ramah digital. Berbasis platform. Seolah memberi kemerdekaan kepada jemaah. Tapi, bukankah terlalu banyak kemerdekaan bisa jadi jebakan?
Mari kita buka satu per satu keranjang masalah yang bisa muncul jika skema ini dipaksakan legal.
Pertama, soal pengawasan. Jemaah mandiri tidak melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi. Artinya, tidak ada standar layanan, tidak ada batas bawah kualitas hotel, tidakada kepastian transportasi, dan yang paling menakutkan: tidak ada yang bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa.
Kedua, bimbingan ibadah. Umrah itu bukan jalan-jalan religi. Ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadahnya sah. Kalau tak ada pembimbing, bisa-bisa thawaf-nya salah putaran, sa’i-nya lewat rute yang keliru. Atau cara menghitungnya keliru karena satu putaran dihitung satu. Lalu siapa yang bisa menegur atau membimbing?
Ketiga, risiko penipuan. Dunia maya penuh janji palsu. Agen visa abal- abal, calo hotel yang menghilang setelah transfer, tiket murah yang ternyata palsu. Tanpa perlindungan institusional, jemaah mandiri rawan jadi korban.
Keempat, urusan sistem. Indonesia punya sistem nasional yang bernama Siskohat dan Sisko patuh. Fungsinya banyak: dari validasi data, pengawasan visa, hingga pelacakan jemaah saat darurat. Jemaah mandiri bisa jadi tak masuk sistem. Lalu kalau hilang atau sakit, siapa yang tahu mereka ada dimana?
Kelima, pukulan ke PPIU. Kalau semua boleh mandiri, penyelenggara resmi bisa megap-megap. Belum lagi jika negara atau BUMN ikut bermain sebagai operator tunggal system, ini malah mengarah ke monopoli yang berkedok kemandirian.
Keenam, soal keadilan. Dalam draft RUU disebut bahwa perlindungan, asuransi, bahkan pendampingan hukum hanya diberikan kepada jemaah yang ikut PPIU. Kalau umrah mandiri legal, berarti ada jemaah yang diperlakukan sebagai warga negara “kelas dua” dalam perlindungan negara. Bukankah ini diskriminatif?
Ketujuh, beban ke perwakilan RI di Saudi. Saat terjadi masalah — kehilangan paspor, sakit, atau bahkan wafat—perwakilan kita disana biasanya berkoordinasi dengan PPIU. Kalau semua mandiri, maka konsulat akan kelabakan: data tidak ada, tidak tahu siapa pendamping, tidak tahu jadwal kepulangan.
Dan terakhir, hancurnya ekosistem. Umrah selama ini punya rantai ekosistem yang tertata: dari pelatihan manasik, tiket, hotel, transportasi, konsumsi, hingga perlindungan. Kalau skema mandiri dibuka liar, semuanya jadi parsial. Siapa yang mengatur kualitasnya?
Kita tidak anti-kemajuan. Digitalisasi, platformisasi, dan integrasi sistem itu mutlak. Tapi kemajuan harus berdampingan dengan perlindungan.
Legalitas umrah mandiri boleh saja dibahas, tapi jangan kebablasan. Jangan sampai nama “mandiri” jadi topeng untuk pembiaran negara terhadap warganya yang rentan. Jangan sampai kita memanen mudharat karena terlalu tergoda kata-kata “kebebasan”.
Kita ingin jemaah Indonesia ibadah dengan tenang. Bukan pergi dengan bebas, tapi pulang dengan kekecewaan.