insanimedia.id – Jakarta genap berusia 498 tahun pada 22 Juni 2025. Sebagai ibu kota yang terus berubah wujud—dari kota pelabuhan kolonial menjadi megapolitan modern—Jakarta telah mengalami banyak transformasi fisik. Jalan layang dibangun, taman kota diperluas, dan infrastruktur digital berkembang pesat.
Namun di balik kemajuan itu, ada persoalan sosial yang belum tersentuh secara mendalam: ketimpangan akses, perlindungan yang belum merata, dan pemberdayaan yang tak menyentuh akar.
Ulang tahun Jakarta seharusnya bukan hanya momen seremonial. Ini adalah waktu refleksi—untuk menengok kembali siapa yang masih tertinggal dan mengapa mereka belum tersentuh oleh kebijakan publik. Di tengah perayaan dan gegap gempita, masih banyak perempuan dan anak yang berada di garis rapuh kehidupan ibu kota.
Berikut adalah lima masalah konkret yang perlu segera dijadikan prioritas kebijakan oleh Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta:
1. Perempuan Kepala Keluarga Terabaikan
Di kampung-kampung padat seperti Tambora, Cakung, dan Koja, banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Mereka menggantikan peran ayah yang tiada, menjadi penyambung hidup anak-anaknya. Namun kenyataannya, mereka kerap tidak terlibat dalam pelatihan keterampilan, akses UMKM, atau program bantuan sosial yang tepat sasaran.
Masalah utama:
• Tidak ada sistem data prioritas di tingkat kelurahan yang mengidentifikasi perempuan kepala keluarga secara akurat.
• Seleksi peserta pelatihan sering tidak berdasarkan kebutuhan lapangan.
• Peran mereka dalam struktur komunitas (RPTRA, PKK) tidak diakui dan tidak diorganisasi secara sistematis.
Padahal, PPAPP memiliki mandat kuat dalam pemberdayaan perempuan berbasis data dan penguatan ekonomi kelompok rentan.
2. Anak Miskin Rentan Putus Sekolah dan Eksploitasi
Di berbagai sudut Jakarta—dari Jatinegara hingga Penjaringan—masih banyak anak yang berhenti sekolah dan bekerja di jalanan demi membantu ekonomi keluarga. Mereka menjadi pengamen, pengemis, atau pekerja informal berisiko. Kondisi ini menjadi luka sosial di tengah kota yang kaya.
Masalah utama:
• Tidak ada program pendidikan informal atau alternatif yang diinisiasi PPAPP untuk menjangkau anak putus sekolah.
• Lemahnya koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial menyebabkan banyak anak luput dari intervensi.
• Pos SAPA belum menyasar kelompok anak drop-out atau terancam eksploitasi secara khusus.
Sebagai lembaga yang memiliki fungsi perlindungan anak, PPAPP perlu memperluas cakupan programnya ke wilayah-wilayah kritis ini.
3. Program Kemandirian Perempuan Tidak Merata
Jakarta memiliki banyak program pemberdayaan perempuan seperti pelatihan UMKM, penguatan kewirausahaan, dan Jakpreneur. Namun, sebaran program ini tidak merata. Banyak warga perempuan di wilayah padat seperti Kampung Melayu, Duri Kosambi, atau Cilincing bahkan tidak mengetahui keberadaan program-program ini.
Masalah utama:
• Tidak ada data wilayah miskin perempuan yang menjadi basis penyaluran program.
• RPTRA belum difungsikan sebagai pusat pelatihan ekonomi warga.
• Minimnya kader lokal sebagai pendamping atau fasilitator di tingkat kelurahan.
Pembangunan yang adil tidak bisa dilepaskan dari distribusi kesempatan dan akses informasi. Pemberdayaan hanya bisa berhasil jika menyentuh semua lapisan sosial.
4. Fungsi RPTRA Menurun
Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) semula digagas sebagai ruang inklusi, pendidikan non-formal, dan penguatan keluarga. Namun di lapangan, banyak RPTRA kehilangan fungsinya. Hanya digunakan untuk kegiatan seremonial, tanpa kegiatan pemberdayaan rutin.
Masalah utama:
• Tidak ada agenda pelatihan yang konsisten dan partisipatif di RPTRA.
• Kurangnya integrasi RPTRA dengan program pengembangan komunitas.
• Belum ada sistem digitalisasi informasi dan kegiatan RPTRA yang bisa diakses publik.
Padahal, RPTRA dapat menjadi jantung pemberdayaan keluarga jika benar-benar digerakkan secara aktif dan profesional oleh PPAPP.
5. Pos SAPA Tidak Aktif dan Tidak Merata
Pos SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) merupakan infrastruktur penting untuk perlindungan korban kekerasan. Namun banyak Pos SAPA tidak aktif, tidak memiliki pendamping hukum atau psikolog, dan bahkan tidak dikenal oleh warga sekitar.
Masalah utama:
• Tidak ada sistem monitoring dan evaluasi kinerja Pos SAPA secara berkala.
• Keterbatasan tenaga ahli (psikolog, paralegal) di lapangan membuat respon lambat dan tidak profesional.
• Kurangnya sosialisasi menyebabkan korban kekerasan tidak tahu harus mengadu ke mana.
PPAPP harus mengaktifkan kembali Pos SAPA sebagai garda terdepan penanganan kasus kekerasan dan pengaduan darurat bagi perempuan dan anak.
Menyambut Usia 498 Tahun Jakarta dengan Empati dan Tindakan Nyata
Perayaan ulang tahun ke-498 Jakarta hendaknya tidak berhenti di panggung hiburan dan dekorasi. Ini adalah momen refleksi: apakah kota ini sudah cukup adil bagi warganya yang paling lemah? Apakah kita sudah membangun bukan hanya trotoar, tapi juga kepercayaan dan perlindungan bagi mereka yang hidup dalam kerentanan?
Pembangunan Jakarta ke depan tidak boleh hanya bersifat fisik. Ia harus menyentuh struktur sosial yang timpang, membenahi sistem distribusi program, dan mengakui suara kelompok rentan sebagai prioritas.
PPAPP DKI Jakarta sebagai institusi teknis harus bertransformasi dari manajer program menjadi penggerak perubahan sosial. Dengan mandat yang jelas dan sumber daya yang tersedia, kini saatnya PPAPP benar-benar hadir—bukan hanya dalam data laporan, tapi di kehidupan nyata masyarakat Jakarta.
Ulang tahun Jakarta ke-498 ini harus menjadi titik tolak untuk membangun ibu kota yang bukan hanya maju, tetapi juga manusiawi.
(Semua Bentuk Tulisan dan Isinya Tanggungjawab Penulis)