Episode 6: Mengapa Umrah Tak Bisa Disamakan dengan Wisata

Oleh Ulul Albab Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri Ketua ICMI Jawa Timur

Ulul Albab Ketua ICMI Orda Jawa Timur

insanimedia.id – Tidak semua perjalanan keluar negeri itu wisata. Dan tidak semua yang memakai paspor adalah turis. Ada perjalanan yang membawa mata, tapi juga hati, jiwa, dan air mata. Itulah umrah. Jamaah umrah tidak sama dengan wisatawan, apalagi turis.

Namun kini, setelah UU No.14 Tahun 2025 disahkan, batas antara umrah dan wisata seolah kabur. Umrah bisa dilakukan mandiri, cukup buka aplikasi, pesan tiket, urus visa, lalu berangkat. Semudah memesan hotel di Mekah seperti memilih resort di Bali.

Perjalanan Umrah adalah perjalanan ibadah, perjalanan batin yang syarat rukunnya ditentukan secara syar’i. itulah yang menjadi misi Negara sejak awal. Karena itu negara selama itu selalu hadir untuk memastikan ibadah ini terlaksana dengan aman, tertib, dan bermartabat.

Maka ketika tanggung jawab itu dilonggarkan, apalagi aturanya dimasukkan dalam UU, maka jangan heran kalau hari ini banyak ulama dan cendekiawan muslim merasa kecolongan. Karena ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sangat penting, yaitu bimbingan syar’i dan perlindungan jiwa raga jamaah di tanah suci.

Ibadah yang Tak Boleh Diperdagangkan

Seorang kiai di Sumenep pernah berpesan, “Umrah itu bukan wisata religi, tapi perjalanan takzim. Kalau tak didampingi pembimbing yang hanif, dan negara tak hadir, maka siapa yang akan memastikan ibadahnya syah? Siapa yang menjaga jamaah dari ketidaktahuan dan kesesatan?”

Itu bukan kekhawatiran kosong. Pengalaman kita selama ini, setiap tahun, ada puluhan kasus jamaah tersesat di bandara, kehilangan paspor, gagal berangkat karena tertipu agen abal-abal, atau bahkan terkatung-katung di hotel murah tanpa makanan. Semua itu terjadi ketika tanggung jawab negara diganti dengan logika pasar.

Dan kini, dengan dalih modernisasi, negara justru tampak ingin “mundur” dari perannya. Umrah diperlakukan seperti produk komersial: siapa saja boleh berangkat tanpa jalur PPIU resmi asal memenuhi syarat administrative. Padahal, nilai ibadah bukan pada kemudahan administratifnya, tapi pada kesungguhan dalam menjaga makna.

Baca Juga :  Andai Umrah Mandiri Dilegalkan

Dua Visi yang Tak Sejalan

Saudi Arabia dengan Vision 2030-nya memang ingin menjadikan umrah bagian dari religious tourism industry. Itu hak mereka dan logis, karena mereka tuan rumah. Tapi Indonesia punya tanggung jawab lain: menjaga umat, bukan sekadar mengirim wisatawan.

UU baru ini terlihat terlalu respon-Saudi, bukan visi-Indonesia.

Ia meniru logika bisnis, bukan logika pelayanan publik. Hasilnya, prinsip perlindungan jamaah yang seharusnya menjadi amanat konstitusi malah tidak diatur dan terabaikan.

Pertanyaan sederhananya: kalau nanti jamaah mandiri tertipu, siapa yang akan menolong? Kementerian? Asosiasi? Maskapai? Atau harus menunggu viral di media sosial dulu baru ditangani?

Bahaya Ketika Ibadah Jadi Transaksi

Bila umrah mandiri dijalankan tanpa kontrol, maka kelak lahir generasi yang memandang ibadah sebagai “transaksi spiritual”. Bayar, berangkat, selfie, pulang. Tanpa pendalaman makna, tanpa bimbingan, tanpa rasa takzim.

Padahal Rasulullah SAW sendiri mencontohkan bahwa ibadah bukan hanya niat dalam hati (pribadi), tapi juga tanggung jawab sosial. Ada imam, ada jamaah, ada tata kelola. Negara mestinya hadir justru untuk menegakkan itu. Bukan melonggarkan, bahkan menghilangkan karena dianggap penghalang kemajuan.

Inilah yang menjadi kegelisahan para akademisi, ulama, dan penyelenggara umrah profesional. Mereka bukan anti-perubahan, tetapi anti kekacauan yang dikemas dengan nama modernisasi.

AMPHURI: Antara Elegansi dan Kewajiban Moral

Litbang AMPHURI, sejak jauh hari, sudah membaca arah ini. Maka kami tidak tergesa, tapi juga tidak diam. Kami tahu bahwa ada batas tipis antara menolak dan meluruskan. Judicial Review yang sedang disiapkan bukan bentuk perlawanan, tapi ikhtiar konstitusional agar negara tidak kehilangan wajahnya dalam mengatur ibadah umat.

Kami tidak ingin melihat jamaah menjadi korban, lalu negara berkata: “Itu konsekwensi dari pilihan mandiri.” Negara tidak boleh cuci tangan atas nama kebebasan. AMPHURI tetap berkomitmen menjadi mitra strategis pemerintah. Tapi kemitraan sejati adalah ketika kebenaran tetap bisa disampaikan, meski terdengar tidak nyaman.

Baca Juga :  Hapus Umrah Mandiri Demi Perlindungan Jamaah

Refleksi: Antara Baitullah dan Nurani Bangsa

Kita bisa menyederhanakan proses, tapi jangan pernah menyederhanakan makna. Kita bisa mendigitalisasi layanan, tapi jangan mendigitalisasi nurani. Sebab umrah bukan hanya soal destinasi, tapi proses penyucian diri untuk pulang kembali menjadi hamba yang lebih Imani, Islami, ihsani.

Saya menganggap, inilah ujian bagi bangsa yang sedang berlari menuju Indonesia Emas, yaitu ujian: apakah kita mampu memodernkan agama tanpa memudarkan rohnya?