Merdeka dari Perbudakan Modern: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Oleh Ulul Albab Akademisi Universitas Dr. Soetomo Ketua ICMI Jawa Timur

Ulul Albab Ketua ICMI Orda Jawa Timur

insanimedia.id – Tanggal 17 Agustus 2025 menandai usia 80 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Delapan dekade lalu, para pendiri bangsa menorehkan sejarah monumental dengan memproklamasikan kemerdekaan dari penjajahan fisik. Namun, pertanyaan mendasar yang harus kita renungkan bersama: apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka? Ataukah kini kita tengah menghadapi bentuk-bentuk perbudakan modern yang lebih halus, sistematis, dan membelenggu?

Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari kolonialisme fisik, tetapi juga merdeka dari segala bentuk penindasan yang menggerus martabat manusia. Amartya Sen (1999) dalam karyanya Development as Freedom menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah proses memperluas kebebasan manusia. Dengan perspektif ini, kemerdekaan bangsa hanya bermakna bila setiap warganya bebas dari belenggu ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun digital.

Perbudakan Ekonomi dan Oligarki

Salah satu bentuk perbudakan modern yang paling nyata adalah perbudakan ekonomi. Kapitalisme global, dengan wajah neoliberalismenya, telah melahirkan kesenjangan sosial yang semakin tajam. Sebagaimana diingatkan Joseph Stiglitz (2012), ekonomi pasar tanpa kendali akan menciptakan “1 persen elit” yang menguasai sumber daya, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural.

Di Indonesia, dominasi oligarki ekonomi bukan lagi sekadar teori. Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy menyebut bahwa negara-negara berkembang kerap terperangkap dalam pola oligarchic rule, di mana segelintir elit memonopoli kekayaan sekaligus mempengaruhi kebijakan publik. Dalam situasi ini, rakyat sejatinya masih “diperbudak” oleh sistem ekonomi yang tidak adil.

Perbudakan Regulasi dan Kebijakan Publik

Kemerdekaan juga seringkali terkekang oleh regulasi dan kebijakan publik yang tidak berpihak. Fenomena regulatory capture—yakni ketika regulasi dikendalikan oleh kepentingan tertentu, bukan oleh kepentingan rakyat banyak—sering terjadi (Dal Bó, 2006). Alih-alih membebaskan rakyat, regulasi justru bisa menjadi instrumen penindasan.

Baca Juga :  Mengoptimalkan Peran ICMI Sebagai Organisasi Masyarakat Sipil di Era Kekinian yang Dinamis

Kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat miskin, misalnya, menciptakan ketidakadilan struktural. Padahal, seperti dikemukakan Rosenbloom et al. (2015) dalam kajian administrasi publik, kebijakan seharusnya dibangun atas prinsip equity (keadilan), responsiveness (daya tanggap), dan accountability (akuntabilitas). Bila prinsip ini diabaikan, rakyat akan terus diposisikan sebagai obyek, bukan subyek pembangunan.

Perbudakan Organisasi dan Birokrasi

Bentuk lain dari perbudakan modern muncul dalam organisasi dan birokrasi. Alih-alih menjadi wadah pengembangan potensi, organisasi kerap membelenggu kreativitas anggotanya melalui pola patronase, senioritas kaku, dan loyalitas buta.

Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed mengingatkan bahwa sistem yang represif melahirkan manusia “tertindas” yang kehilangan kemampuan kritis. Dalam konteks birokrasi, hal ini berwujud pada aparatur negara yang tidak lagi melayani rakyat dengan tulus, tetapi sekadar menjadi roda penggerak status quo.

Perbudakan Media dan Digital

Di era digital, bentuk perbudakan modern juga hadir dalam rupa perbudakan stigma. Media mainstream maupun media sosial sering menjadi “mesin penggiring opini” yang memenjarakan manusia dalam persepsi publik. Viralnya sebuah isu sering kali mendahului fakta, bahkan menghancurkan karakter seseorang sebelum kebenaran diuji.

Shoshana Zuboff (2019) dalam The Age of Surveillance Capitalism menegaskan bahwa algoritma digital kini bukan hanya mengatur perilaku manusia, tetapi juga membentuk cara berpikir dan mengambil keputusan. Dengan kata lain, manusia bisa kehilangan kemerdekaan berpikir karena terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang dibentuk oleh mesin.

Menuju Kemerdekaan Sejati

Menghadapi realitas tersebut, kemerdekaan sejati harus kita maknai lebih luas: sebagai ikhtiar membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan modern. Setiap warga bangsa harus merdeka menentukan masa depannya, tumbuh sebagai pribadi berkarakter, berakhlak mulia, kritis, obyektif, dan tetap sholeh/sholehah sebagai hamba Allah.

Baca Juga :  HUT RI ke-80, Pemprov Jatim Bagikan Bendera dan Sembako

Bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Inilah yang ditegaskan oleh Bung Hatta bahwa “kemerdekaan tidaklah bermakna tanpa peradaban” (Hatta, 1954). Kemerdekaan kita harus berbuah pada tumbuhnya masyarakat yang optimis, toleran, dan saling menghargai perbedaan.

Pesan kepada Pejabat Publik

Pada momentum kemerdekaan ke-80 ini, perlu ditegaskan pesan keras kepada para pejabat publik, dari level RT hingga Presiden: jangan sekali-kali memperbudak rakyat dengan kebijakan yang mengekang. Kekuasaan adalah amanah, bukan milik pribadi atau kelompok. Seorang pemimpin sejati adalah ia yang mencontoh Rasulullah SAW—yang memimpin untuk memuliakan, bukan menindas umatnya.

Pesan kepada Para Pembuat Hukum dan Regulasi

Demikian pula kepada para pembuat hukum dan regulasi: hukum bukanlah alat kriminalisasi rakyat, melainkan instrumen pembebasan. Jangan ada peraturan yang secara diam-diam digadaikan kepada kepentingan oligarki. Hukum harus menjadi pilar peradaban, berpihak pada yang lemah, dan menjaga martabat bangsa.

Kemerdekaan: Perjuangan yang Tak Pernah Usai

Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus meneguhkan kesadaran bahwa perjuangan belum usai. Perbudakan fisik memang telah lama kita taklukkan, tetapi perbudakan modern kini hadir dengan wajah yang lebih rumit. Tugas kita adalah memastikan bahwa kemerdekaan tidak berhenti pada seremoni, melainkan menjadi gerakan kolektif membebaskan rakyat dari segala belenggu.

Merdeka bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab. Setiap anak bangsa, apapun posisinya, wajib berkontribusi agar kemerdekaan sejati ini terwujud. Mari kita rayakan 80 tahun kemerdekaan dengan tekad yang sama seperti para pendiri bangsa: tegak, bermartabat, dan beradab.

Merdeka!

Daftar Pustaka Singkat

Dal Bó, E. (2006). Regulatory Capture: A Review. Oxford Review of Economic Policy.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Baca Juga :  Sertifikasi Pembimbing Haji yang Menyulitkan Kyai

Hatta, M. (1954). Demokrasi Kita. Jakarta: Tintamas.

Rosenbloom, D. H., Kravchuk, R., & Clerkin, R. M. (2015). Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector. New York: McGraw-Hill.

Sen, A. (1999). Development as Freedom. New York: Oxford University Press.

Stiglitz, J. (2012). The Price of Inequality. New York: W. W. Norton & Company.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.